Selasa, 05 Februari 2013

Cirebon Kedatangan Laksamana Cheng Ho


Laksamana Cheng Ho[1] atau Wai Ping atau Zheng He atau Te Ho  melakukan ekspedisi pertama tahun 1405-1407 yang dimulai 11 Juli 1405. Laksamana Cheng Ho disertai rekan sejawatnya Ching-huang melawat ke San Fo Ji (Sriwijaya/ Palembang) dengan tujuan utama menangkap seorang perompak dan pemberontak Ch’en Zuyi beserta pengikutnya yang menyingkir dari Provinsi Fujian.
Titah Kaisar Ming pertama itu didasarkan pada laporan dari seorang Tionghoa lain yang tinggal di Palembang bernama Shi Jinqing. Ch’en Zuyi sangat kaya dan kekayaannya itu didapat dari pekerjaannya sebagai perompak di lautan yang menyerang kapal-kapal pembawa harta yang lewat perairan dekat Palembang. Ia menjadi penguasa lokal di sana dan memerintah dengan sangat kejam, walaupun secara de facto wilayah Palembang berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Majapahit di Jawa.
Sekembalinya dari ekspedisi pertamanya, Cheng Ho dan pasukannya berhasil menangkap perompak dan pemberontakan yang dipimpin oleh  Ch’en Zuyi serta  membunuh 5.000 orang serta merampas 17 kapalnya.Ch’en Zuyi dibawanya kembali ke Tiongkok. Kemudian Ch’en Zuyi diserahkan pada Kaisar di Nanking. Ia kemudian dihukum mati di hadapan Kaisar. Karena harus menumpas dan menangkap para perompak dan pemberontak, kembalinya ke Nanking mengalami keterlambatan tiga bulan. Ia tiba di ibukota Nanking pada tanggal 2 Oktober 1407 M.
Setelah Ch’en Zuyi dihukum, sebagai tanda terima kasih, Kaisar menghadiahi Shi Jinqing dengan mengangkatnya sebagai penguasa Palembang. Khusus untuk Palembang, nama-nama yang berhasil diungkapkan adalah San Fo Ji (mengacu ke Sriwijaya), Pa Lin Fong, Po Lin Bang atau Jiu Jiang (secara harfiah berarti “Pelabuhan Lama” atau “Sungai Lama”).
Menurut Purwaka Caruban Nagari, kedatangan armada Angkatan Laut Cina pada tahun 1415 M dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho bersama Ma Huan[3], penulis dan penerjemahnya yang beragama Islam, membawa 63 perahu dengan jumlah pasukan 27.800 orang, yang terdiri dari perwira, prajurit, ahli perbintangan, tabib, para penterjemah, akuntan, ahli mekanik, pedagang, perajin, tukang emas dan permata[4]. Mereka melakukan tugas muhibah atas perintah Kaisar Cina Chen Tu atau Yung Lo, Raja Dinasti Ming III. Tugas utama misi ini adalah membina persahabatan yang erat dengan kerajaan-kerajaan di seberang lautan serta mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming[5]. Misi ini adalah misi persahabatan yang berbeda dengan misi para penjelajah Eropa. Misi dari perjalanan Laksamana Cheng Ho bukan misi imperialis, di setiap daerah yang disinggahinya, ia tidak punya keinginan untuk mendudukinya. Di manapun tidak ada orang Tionghoa yang mendirikan kantor dagang, tidak pula mendirikan kota-kota militer yang diperkuat[6]. Dalam masa tujuh kali pelayarannya, ia berhasil memindahkan 25.000 orang Cina dari Provinsi Yunan dan Swatow di Cina Selatan ke Palembang, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Di Jawa, imigran Cina ditempatkan di Banten, Cirebon, Semarang, Juwana, Jepara, Gresik, Ampel (Surabaya), dan Bangil.
Setibanya di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon, mereka diterima oleh Ki Gedeng Jumajanjati atau Ki Gedeng Tapa, selama tujuh hari tujuh malam dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dalam persinggahannya, armada Cina itu sempat mendirikan mercusuar di atas Bukit Amparan Jati. Sebagai imbalan atas mercusuar yang didirikan, mereka diberi garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati oleh Jurulabuhan Dukuh Pesambangan[7].
Jika kita melihat apa yang tercatat dalam Negara Kretabumi dan Purwaka Caruban Nagari, maka keberadaan mercusuar karya bangsa Cina itu ternyata bukan saja sebagai menara pengawas  bagi kapal dan perahu, tetapi mercusuar itu juga merupakan tengara, bahwa akan datang sebuah perubahan zaman, yakni masuknya agama Islam. Setelah kedatangan Armada Cheng Ho banyak berdatangan pendatang beragama Islam.



[1]  Cheng Ho, Zhèng Hé dalam ejaan pinyin bahasa Tiongkok (Mandarin), menurut Wade-Giles: Cheng Ho; nama asli dalam ejaan pinyin adalah  Ma Sanbao; nama Arab: Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433M), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 M hingga 1433 M.

[2] Sumber foto : www.wiklipedia.com. Maritime Silk Road.
[3] Ma Huan adalah seorang muslim. Ia menemani Laksaman Zheng He sebanyak tiga kali dalam tujuh kali pelayarannya. Ia pandai berbahasa Arab, dan bertugas sebagai penerjemah sekaligus reporter. Tulisan terakhirnya mengenai pelayaran Laksamana Zheng He adalah tahun 1433 M. Ma Huan mencatat  semua pengalaman yang disaksikannya dan menuangkannya dalam buku yang berjudul Perjalanan Yingyai sheng-lan (The Overall Survey of the Ocean’s Shores yang berarti Survei Menyeluruh Wilayah-wilayah Pesisir) dipublikasikan pada tahun 1451 M. Buku itu merupakan deskripsi yang didasarkan pada observasi pribadi mengenai wilayah-wilayah yang terbentang mulai dari Asia Tenggara daratan di Timur, Asia Selatan, sampai ke Mekah di Barat. Akan tetapi, salah satu kesukaran yang dihadapi dalam membaca buku yang ditulis Ma Huan itu adalah dalam mencocokkan nama-nama wilayah dalam ejaan bahasa Tionghoa kuno dengan nama sebenarnya. Sumber : Ma Huan, Ying-yai sheng-lan : “The Overall Survey of the Ocean’s Shores, J.V.G. Mills, trans and ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1970),  hal.34-37.   
[4]   Pelita edisi Minggu 7 April 1991.
[5]   (Sudjana, 1996 :181).
[6]   Van der Berg, hal 256.
[7]  Atja (1986) hal 31.

Cirebon Kedatangan Bangsa Tionghoa


Pada abad ke-5 M, gelombang Budhisme datang dari Cina di bawah pemerintahan Dinasti Selatan melalui jalur laut, dibawa oleh para pendeta Budha ke nusantara. Faxian (Fa Hsien) adalah pendeta Cina yang beragama Budha di India yang melakukan pelayaran ke Srilangka dan terdampar di Jawa (Ye-po-ti, artinya  Yawadwi (pa), pulau Jawa dalam transkrip Sansekreta). Ia tinggal di Jawa sekitar 5 bulan, yaitu Desember 412 M sampai Mei 413 M sebelum kembali berlayar kembali ke Cina[1].
Keterangan yang memuat tentang hubungan antara Jawa dengan Cina juga terdapat pada Berita Tahunan Dinasti-dinasti Selatan (Songshu dan Liangshu), dan dalam Tangshu, Xin Tangshu, dan Songshi[2].  Teks-teks yang berurutan itu juga menyebut She –po untuk abad ke-5, demikian pula He-le-tan yang terletak di She-po, lalu He-ling menggantikan She–po pada tahun 640-818 M[3]. She-po muncul sekali lagi pada tahun 820 M dan bertahan hingga zaman Yuan, yang kemudian diganti dengan Zhao-waShongshi menyebutkan adanya utusan Cina pada tahun 993 M dan 1109 M. Pada tahun 1129 M, Sang Maharaja memberikan gelar raja kepada penguasa She-po, yang menandai adanya maksud politik tertentu dari pihak Kekaisaran Cina untuk daerah yang bersangkutan[4].

Cirebon merupakan kota tua yang memiliki peradaban maju. Hal tersebut, tercermin dari bukti peninggalan sejarah pendahulunya, yang kini menjadi kekayaan khasanah budaya bangsa. Salah satunya adalah yang tertuang dalam naskah-naskah kuno yang berisikan tentang berbagai aspek kehidupan, baik berisi tentang sejarah, pengobatan, perbintangan, perhitungan tanggal dalam Islam dan Jawa, dan naskah agama. Diantara naskah tersebut yang berisikan sejarah, yang akan digunakan sebagai rujukan utama dalam penulisan buku ini di antaranya adalah Naskah Pustaka Negarakretabhumi dan  Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN). Beberapa naskah lainnya digunakan sebagai penunjang, di antaranya Sedjarah Tjirebon, Naskah Mertasinga, Naskah  Sajarah Lampahing Para Wali Kabeh, dan Serat Catur Kanda. Naskah-naskah tersebut merupakan bukti sekunder yang ditemukan untuk membantu merekonstruksi sejarah yang pernah terjadi, karena menemukan naskah primer untuk penulisan sejarah yang terjadi sebelum abad ke-18 sangatlah sulit. Begitu juga untuk menggali sejarah dari bukti arkeologis dengan menggali situs kuno di Cirebon merupakan hal mustahil, karena situs-situs tersebut sangatlah dihormati oleh masyarakat Cirebon. Selain itu, digali pula ingatan kolektif masyarakat berupa penuturan lisan dari para sesepuh keraton dan masyarakat.

Cirebon berperan sebagai jalan lalu-lintas yang dapat dilayari perahu atau kapal ke arah pedalaman, disaksikan oleh Tome Pires pada tahun 1513 M. Mungkin sungai yang dimaksud sekarang adalah Sungai Krian (sekarang yang dapat dilayari sampai ke Cirebon Girang). Dari catatan Tome Pires dikatakan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang besar dan ramai, jauh lebih ramai dari pelabuhan Demak. Hal tersebut diukur berdasarkan  kemampuannya untuk dilayari jenis perahu Junk[5]. Pelabuhan Cirebon didukung adanya Sungai Bondet yang dapat dilayari oleh perahu Junk sejauh 9 mil[6]. Pada masa itu Junk yang dimiliki oleh para saudagar Cina sangat terkenal.[7]


[1] Kisah pengembaraan Faxian tercantum dalm Fo-guo-qi, sudah beberapa kali diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Legge bersama teks Cinanya dan oleh H. Giles (The Travel of Faxien 399-414 M) atau  Regard Budhist Kingdom, dicetak ulang di London pada tahun 1956. Kutipan mengenai masa tinggalnya di Jawa diterjemahkan dalam karya Groeneveldt, Historical Notes, dicetak ulang di Jakarta, tahun 1960M.
[2]    Bagian-bagian mengenai Pulau Jawa telah dikumpulkan oleh Groeneveldt, Historical Notes, dicetak ulang di Jakarta, tahun 1960 M hal 6-20.
[3]    Dalam sebuah artikel ilmiah yang berjudul “La transcription chinoise Ho-ling comme désignation de Java (BEFEO L II, cet. Lepas I, Paris, 1964, hal. 93-141), L.-Ch. Damais telah membuktikan bahwa yang dimaksud dengan He-ling bukanlah Kalingga melainkan Wailing, sebuah daerah lokal yang terbukti ada dalam epigrafi.
[4]    Denys Lombard, hal 12-13.
[5]    Panjang perahu Junk mencapai 100 kaki dan lebar 40 kaki,  ada juga yang panjangnya 30 m dengan lebar 8 meter.
[6]     Cortesao, 1967 :183,186.
[7]   Tjiptoatmojo, 1983 : 91.