Caruban Nagari, atau yang lebih di kenal dengan Grage (Negara Kedhe) diperkirakan jatuh pada tanggal 14
bagian terang bulan Caitra tahun 1367 saka yang bertepatan dengan tanggal 8 April
1445 Masehi, hari Kamis, serombongan penduduk sebanyak 52 orang yang di pimpin
oleh Ki Samadullah mendirikan sebuah desa di kawasan Hutan Pantai yang di sebut Tegal Alangalang yang biasa juga di sebut Kebon Pesisir. Penanggalan Hijriyah pada waktu itu adalah 29 Dzulhijjah
tahun 847, atau mungkin sudah jatuh kepada tanggal 1 Muharrram 848 H.
Penduduk desa baru itu memilih Ki
Danusela yang telah 5 tahun bersama keluarganya bermukim dikawasan itu menjadi
kuwu mereka yang pertama. Karena Ki Danusela kebetulan menantu Ki Gedeng
Kasmaya raja Cirebon Girang, maka desa baru itu dinamai CirebonLarang atau
Cirebon Pasisir. Mungkin semula kerajaan Ki Gedeng Kasmaya di lereng Gunung
Cireme itu bernama Cirebon (saja). Baru setelah ada Cirebon Pasisir kerajaan
itu disebut Cirebon Girang agar tidak tertukar dengan Cirebon yang didirikan
oleh Ki Samadullah.
Samadullah adalah nama pemberian gurunya,
Syekh Datuk Kahfi guru agama islam mazhab Syafi’i di Amparan Jati. Nam aslinya
adalah Pangeran Walangsungsang putra sulung Sri Baduga Maharaja dari Suabanglarang.
Telah diutarakan bahwa Subanglarang pernah menjadi murid Syekh Hasanudin di
Pondok Kuro, Karawang. Karena ia beragama islam anak-anaknya di izinkan
menganut agama ibunya sejak kecil. Mereka adalah Walangsungsang, Rara Santang
dan Raja Sangara. Setelah ibunya wafat ketiga anakanya itu merasa tidak betah
lagi tinggal di Pakauan karena selain persaingan antara putera raja cukup
sengit walaupun terselubung. Walangsungsang dan adik-adiknya merasa lebih betah
tinggal pada kakenya di Singapura. Kakeknya,
Ki Gedeng Tapa, adalah penguasa Singapura yang merangkap menjadi
jurulabuhan di Muara Jati. Gedeng Tapa sebagai raja daerah dan sekaligus
syahbandar sangat kaya. Terbukti kemudian dengan harta kekayaan yang
diwarisinya dari Ki Gedeng tersebut Walangsungsang mampu membangun Keraton
Pakungwati lengkap dengan pembentuykan pasukan baru.
Telah dituturkan bahwa Lemah Kawikwan
sekjaligus merupakan Binaya Panti (tempat mencari ilmu) karena pada
silam yang di sebut Guru Utama adalah Maha Pandita. Juga pustaka-pustaka
biasanya tersimpan di Kabuyutan karena ilmu waktu itu termasuk bagian dari
agama sehingga pustaka-pustaka ilmu termasuk barang “keramat”.
Seorang Toahaan (keturunan
raja = pangeran) yang ingin bermutu harus rajin membaca pustaka, yang artinya
harus rajin mukim di kediaman pendeta. Sebagai seorang Tohaan Walangsungsangpun
tidak terlepas dari pola pikiran semacam itu. Ia haus akan ilmu dan pustaka
serta mendambakan kehadiran seorang guru. Hal itu tidak dapat dipenuhinya di
Pakuan dan sekitarnya karena ia seorang muslim yang mungkin selama di Istana
hanya dapat belajar agama dari ibuanya. Setelah ibunya wafat, bagi dia dan
adik-adiknya tak ada lagi penenang batin yang memadai. Makin keraslah niat
Walangsungsang untuk meninggalakan Pakuan.
Menurut kisah ia lolos malam hari,
tetapi mungkin saja ia pergi baiuk-baik sebab tak ada alasan untuk
menyembunyikan maksudnya untuk pergi ke Timur. Disana ada kakenya, baik dari
piahak ayah maupun darai pihak ibu. Situasi pemeritahan dalam periode tersebut
pada umumnya tidak fahami oleh para penulis babad. Pada saat Walangsungsang
pergi dari Pakuan, penguasa btetinggi di Jawa Barat Wastu Kancana kakek
Siliwangi yang waktu itu tentu belum bergelar “Siliwangi” ia masih Prabu
Anom tau wakil raja dibawah
pemerintahan mertuannya, Prabu Susuktunggal. Demikian pula halnya dengan pusat
pemerintahan yang waktu itu berkedudukan di Kawali, bukan di Pakuan.
Jalan yang di tempuh Walangsungsang
tentu sama dengan jalur yang dilukiskan oleh Bujangga Manik dalam kiasah
perjalannya yang dilakukan beberapa tahun kemudian. Ia sampai ditempat Ki
Danuwarsih seorang pendeta Budha yang menurut Pustaka Kertabhumi 1/4 tinggal di “Parahyangan bang wetan”.
Ayahnya Ki Danausetra, adalah seorang pendeta Budha bertasal dari Gunung Dieng
yang kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh (sebelum kawali).
Hal itu menunjukan bahwa
Walangsungsang memang haus akan ilmu. Di Pakuan tak mungkin berguru kepada
pedeta karena semua orang tahu bahwa dirinya seorang muslim. Di Galuh ia berani
melakukanya karena tidak akan ada orang yang “usil” terhadap dirinya. Dirumah
Ki Danuwarsih itulah ia bertemu dan berjodoh dengan Nyi Indang Geulis putri
sang pedeta. Nama itu nama sunda karena Ki Danuwarsih sendiri dilahirkan di
Galuh.
Ke rumah Ki Danuwarsih inilah
kemudian Rara Santang tiba menyusul kakaknya. Adik mereka yang bungsu Raja
Sangara tetap tinggal dipakuan dan baru kemudian setelah Cirebon berdiri ia pun
berkumpul dengan kedua kakaknya. Hal ini membuktikan pula bahwa kepergian Rara
Santang dari Pakuan dilakukan dengan terang-terangan tidak “lolos diam-diam”
seperti lukisan babad. Logisnya ia akan disertai pengiring untuk keselamatannya.
Rara Santang waktu itu adalah cucu penguasa Sunca-Galuh, Maharaja Niskala Wastu
Kencana, lalu ayahnya menjadi prabu anom di Pakuan dan orang kedua dalam urutan
ahli waris tahta Galuh bila Wastu Kencana telah tiada. Puteri semacam itu tidak
akan dibiarkan “lolos” apalagi terlunta-lunta.
Kemudian Walangsungsang bersama
isteri dan adiknya pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi yang membuka Pondok
Kuro di kaki Bukit Amparan Jati. Hal itu tentu atas prakarsa kakeknya,
jurulabuhan Ki Gedeng Tapa raja Singapura. Dahulu putrerinya Subanglarang,
dikimkannya belajar agama islam ke Ponndok Kuro Karawang. Setelah ada pesantren
di Amparan Jati ia memilih pesantren ini untuk kedua cucunya karena terletak
didaerah Cirebon. Seperti Syekh Hasanudin di Karawang, Syekh Datuk Kahfi pun
sahabat Ki Jurulabuhan. Sebagai syah Bandar ia mempunyai pergaulan yang luas
tanpa membedakan agama atau asal-usul kebangsaannya. Tetapi dibalik semua hal
itu dapat terjadi karena keterbukaan sikap penguasa tertinggi Negara yaitu
Wastu Kancana ayahanda Ki Juru Labuhan.
Dari gurunya, Walangsungsang
mendapat nama Samadullah. Gurunya menyarankan agar ia membuka perkampungan baru
untuk penyiaran agama islam. Ia memilih kawasan hutan di kebon pasisir yang
disebut Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk. Disitu telah ada Ki
Danusela adik Ki Danuwarsih. Kampong yang sudah ramai didekatnya adalah Dukuh
Pasambangan kampung yang pernah dimukimi oleh Haji Baharudin alias Ki Haji
Purwa. Dibantu oleh sekelompok penduduk dukuh itulah Walangsungsang alias Ki
Samadullah membuka perkampungan baru seperti telah diutarakan dalam awal
paragraph ini.
Penduduk kampung itu campuran
berbagai bangsa dan agama. Mereka sepakat memilih Ki Danusela menjadi Kuwu
mereka. Nama kampung itu mula-mula Tegal Alang-alang dan Walangsungsang menjadi
Pangraksabumi dengan sebutan Ki Cakrabumi. Tiga tahun kemudian nama
kampung itu di ubah menjadi kampung Cirebon Larang atau Cirebon Passir meniru
nama Cirebon Girang tempat mertua Ki Danusela. Itula awal dari kelahiran
Cirebon yang dibuka oleh Pangeran Walangsungsang pada tanggal 14 bagian gelap bulan Caitra
tahun 1367 Saka.
Atas peintah gurunya pula
Walangsungsang pergi naik haji ke Mekah. Karena isterinya tengah mengandung, ia
pergi berdua bersama adiknya, Rara Santang. Di pelabuhan Jedah mereka berjumpa
dengan Syarif Abdullah. Naskah babd selalu menyebunya sebagai “sultan Mesir”
tetapi dalam naskah-naskah Wangsakerta ditegaskan bahwa Syarif Abdullah “dumadi
ratwing sawijni ning kitha ing masir nagari” (menjadi salah satu penguasa kota
di negeri Mesir) atau “rajamandala ing masir nagari” (raja daerah di negeri
Mesir). Wangsakerta pun menegaskan bahwa Syarif Abdullah berasal dari “wangsa
hasyim yang dahulu pernah menguasai Palestina tempat tinggal Bani Israil” dan
sultan Mesir waktu itu disebutkan wangsa Ayubi dari Bani Mameluk.
Jadi, ketidakcocokan tokoh Syarif
Abdullah dalam sejarah Cirebon dengan sejarah Mesir hanya terdapatdalam
naskah-naskah yang lebih muda, termasuk naskah Purwaka Caruban Nagari. Dalam
Keratbumi kadang-kadang ada sebutan “sultan Mesir” untuk kepraktisan, tetapi didahului
dengan keterangan di muka. Demikian pula halnya dengan Sulaiman Al-Bagdad yang
hanya seorang raja daerah.
Rara Santang kemudian menjadi Isteri
Syarif Abdullah. Sementara menunaikan ibadah haji mereka tinggal dirumah
saudara Syekh Datuk Kahfi. Rara santang mengikuti suaminya ke Mesir dan
mendapat nama Syaripah Mudaim sedangkan Walangsungsang mendapat nama Haji
Abdullah Imam dari gurunya di Mekah, Syekh Abdul Yajid. Setelah tiga bulan ia
kembali ke Pulau Jawa denagan singgah di Bagdad dan Cempaka.
Di Cempaka ia berguru kepada Syekh
Ibrahim Akbar yang di Jawa disebut Sekh Jatiswara. Walangsungsang dijodohkan
dengan puterinya, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Cirebon bersama isterinya
itu. Ia menjadi guru agama di desa Cirebon. Indang Geulis telah melahirkan
seorang puteri yang dinamai Nyai Pakungwati. Kemudian Walangsungsang menikah
dengan Reta Riris puteri Ki Danusela dan diganti namanya menjadi Kancanalarang.
Setelah Ki Danusela wafat,
Walangsungsang menjadi kuwu di Cirebon yang kedua. Ketika kakeknya Ki Jurulabuhan wafat, ia tidak mewarisi
kedudukannya, melainkan memperoleh warisan berupa harta. Kemudian ia mendirikan
istana yang dinamainya Pakungwati seperti puteri sulungnya. Dengan harta
warisan itu pula ia membentuk kesatuan tentara. Pembentukan “kerajaan”
Pakungwati ini direstui oleh ayahnya yang segera mengutus Ki Jagabaya untuk
menyampaikan tanda kekuasaan dan memberi gelar Si Mangana. Bersama dengan Ki
Jagabaya ikut pula Raja Sangara adik Bungsu Walangsungsang.
Kelak setelah Syarif Hidayat, putera
Rara Santang dan Syarif Abdullah menetap di Cirebon dan menggantikan Syekh
Datuk Kahfi yang telah wafat, Walangsungsang menobatkan suannya ini menjadi
Tumenggung Cirebon. Pada saat itu penyebaran agama islam telah sampai di
Kuningan atas jasa Syekh Maulana Akbar
alias Syekh Bayanullah adik Syekh Datuk Kahfi. Ketika Pangeran Walangsungsang
bersama adiknya naik haji, mereka menumpang dirumah Syekh Bayanullah ini. Waktu
Syekh Bantong putra Syekh Kuro dari Karawang naik haji, Syekh Bayanullah
kemudian ikut Ki Bantong pulang ke Pualau Jawa. Syekh Bayanullah kemudian
mendirikan Pondok Kuro didesa Sidapurna, Kuningan. Ia menikah dengan Nyi
Wandansari, Puteri Surayana, lurah Sidapurna. Surayana adalah putera Prabu Dewa
Niskala dari isterinya yang ketiga. Dari perkawinan ini Syekh Bayanullah
berputera Maulana Arifin.
Maulana Arifin kelak berjodoh dengan
Ratu Selawati penguasa Kuningan Cucu Prabu Siliwangi. Ia adalah adik Raden
Jayaraksa alaias Ki Gedeng Luragung dan
kakak Raden Bratawiyana atau Arya Kemuning. Mereka di islamkan oleh uanya,
Pangeran Walangsusang. Ketika Syarif Hidayat diangkat tumenggung oleh uanya,
agama islam sudah berakar luas sampai di Kuningan dan Luragung.Atas dasar
itulah, Syarif Hidayat dengan dukungan para kamastu (wali) memutuskan
bahwa Cirebon harus menjadi Negara pusat kekuatan agama islam yang merdeka pada
tanggal 12 bagian terang bulan Caitra 1404 Saka (Maret/April 1482 Masehi),
Syarif Hidayat menjadi raja Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati. Waktu itu
kakeknya, Sri Baduga Maharaja, baru saja di nobatkan menjadi Maharaja.
Ketika berita itu sampai di Pakuan,
Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya bersama anak buahnya untuk
“menertibkan” Cirebon dan mengatasi keadaan. Akan tetapi Jagabaya di sergap di
dekat Gunung Sembung oleh pasuakan gabungan Cirebon-Demak. Pasukan Demak dibawa
ke Cirebon oleh Raden Patah ketika ia menghadiri penobatan Susuhunan Jati.
Ketika ia pulang, sebahagian pasukannya ditinggalkan di Cirebon untuk menjaga kemungkinan
adanya serangan dari Pakuan. Jagabaya bersama pasukannya kemudian masuk Islam.
Karena Jagabaya lama tidak kembali,
Sri Baduga lalu mempersiapkan pasukan besar untuk menyerang Cirebon. Namun niat
tersebut dapat di cegah oleh purohita (pendeta tertinggi keratin), Ki
Purwagalih.mungkin kedudukan Syarif Hidayat sebagaicucu sang Maharaja dan ia
pun di nobatkan oleh Pangeran Walangsungasang telah meredakan murkanya. Seorang
kakek yang memerangi anak dan cucunya tentu akan di cemoohkan orang. Walaupun
demikian tokoh setinggi purohita Ki Purwagalih ini dalam Babad Padajaran
“ dijadiakan” panakawan Guru Gantangan dengan tingkah laku ala Karang
Tumaritis.
Cirebon akhinya menjadi Negara
merdeka. Sebelumnya, Cirebon termasuk kawasan Galuhyang di tempatkan dibawah
pengawasan Arya Kiban, bupati Galuh yang berkedudukan di Palimanan. Karena
pusat pemerintahan dialihkan dari Kawali ke Pakuan, Sri baduga menunjuk Jayaningrat,
salah seorang putera Dewa Niskal, menjadi raja di daerah Galuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar