Pada abad ke-5 M, gelombang Budhisme datang dari Cina di bawah
pemerintahan Dinasti Selatan melalui jalur laut, dibawa oleh para pendeta Budha
ke nusantara. Faxian (Fa Hsien) adalah pendeta Cina yang beragama Budha di
India yang melakukan pelayaran ke Srilangka dan terdampar di Jawa (Ye-po-ti, artinya Yawadwi
(pa), pulau Jawa dalam transkrip
Sansekreta). Ia tinggal di Jawa sekitar 5 bulan, yaitu Desember 412 M sampai
Mei 413 M sebelum kembali berlayar kembali ke Cina[1].
Keterangan yang memuat tentang
hubungan antara Jawa dengan Cina juga terdapat pada Berita Tahunan Dinasti-dinasti
Selatan (Songshu dan Liangshu), dan dalam Tangshu, Xin Tangshu, dan Songshi[2]. Teks-teks yang berurutan itu juga menyebut She –po untuk abad ke-5, demikian pula He-le-tan yang terletak di She-po, lalu He-ling menggantikan She–po
pada tahun 640-818 M[3].
She-po muncul sekali lagi pada tahun
820 M dan bertahan hingga zaman Yuan, yang kemudian diganti dengan Zhao-wa. Shongshi menyebutkan adanya utusan
Cina pada tahun 993 M dan 1109 M. Pada tahun 1129 M, Sang Maharaja memberikan
gelar raja kepada penguasa She-po,
yang menandai adanya maksud politik tertentu dari pihak Kekaisaran Cina untuk
daerah yang bersangkutan[4].
Cirebon merupakan kota tua yang
memiliki peradaban maju. Hal tersebut, tercermin dari bukti peninggalan sejarah pendahulunya,
yang kini menjadi kekayaan khasanah budaya bangsa. Salah satunya adalah yang
tertuang dalam naskah-naskah kuno yang berisikan tentang berbagai aspek
kehidupan, baik berisi tentang sejarah, pengobatan, perbintangan, perhitungan
tanggal dalam Islam dan Jawa, dan naskah agama. Diantara naskah tersebut yang
berisikan sejarah, yang akan digunakan sebagai rujukan utama dalam penulisan
buku ini di antaranya adalah Naskah Pustaka Negarakretabhumi dan Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN). Beberapa
naskah lainnya digunakan sebagai penunjang, di antaranya Sedjarah Tjirebon, Naskah
Mertasinga, Naskah Sajarah Lampahing
Para Wali Kabeh, dan Serat Catur Kanda. Naskah-naskah tersebut merupakan bukti
sekunder yang ditemukan untuk membantu merekonstruksi sejarah yang pernah
terjadi, karena menemukan naskah primer untuk penulisan sejarah yang terjadi
sebelum abad ke-18 sangatlah sulit. Begitu juga untuk menggali sejarah dari
bukti arkeologis dengan menggali situs kuno di Cirebon merupakan hal mustahil,
karena situs-situs tersebut sangatlah dihormati oleh masyarakat Cirebon. Selain
itu, digali pula ingatan kolektif masyarakat berupa penuturan lisan dari para
sesepuh keraton dan masyarakat.
[1] Kisah
pengembaraan Faxian tercantum dalm Fo-guo-qi, sudah beberapa kali diterjemahkan
dalam bahasa Inggris oleh Legge bersama teks Cinanya dan oleh H. Giles (The Travel of Faxien 399-414 M)
atau Regard
Budhist Kingdom, dicetak ulang di London pada tahun 1956. Kutipan mengenai
masa tinggalnya di Jawa diterjemahkan dalam karya Groeneveldt, Historical Notes, dicetak ulang di
Jakarta, tahun 1960M.
[2] Bagian-bagian mengenai Pulau Jawa telah dikumpulkan oleh Groeneveldt, Historical Notes, dicetak ulang di
Jakarta, tahun 1960 M hal 6-20.
[3] Dalam sebuah artikel ilmiah yang berjudul “La transcription chinoise Ho-ling comme désignation
de Java (BEFEO L II, cet. Lepas I, Paris, 1964, hal. 93-141), L.-Ch. Damais
telah membuktikan bahwa yang dimaksud dengan He-ling bukanlah Kalingga melainkan Wailing, sebuah daerah lokal
yang terbukti ada dalam epigrafi.
[5] Panjang perahu Junk mencapai 100 kaki dan lebar 40 kaki, ada juga yang panjangnya 30 m dengan lebar 8
meter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar