Setelah
Syarif bertemu dengan pamannya, Pangeran Cakrabuana sangat senang dan
menyampaikan keinginannya agar Syarif Hidayat berkenan menjadi raja. Namun
Syarif Hidayat menolak karena ia masih
ingin berkelana. Syarif Hidayat pun pergi ke negeri Cina dan sebelumnya mampir
ke Jamhur bertemu dengan Raja Lahut. Di Cina Syarif Hidayat menjumpai pengrajin tabsyi
yang sudah masuk Islam, begitu pula dengan orang-orang daerah sekitar hingga
beliau masuk ke negeri Tartar.
Islam sudah berkembang di daerah itu dan banyak
penganutnya. Islam masuk ke Negeri Tartar sejak zaman sahabat Anas bin Malik. Meskipun Islam sudah tersebar di sana, Syarif
Hidayatullah senantiasa berdakwah di daerah tersebut untuk mempertebal keimannya. Syarif Hidayatullah berada di negeri Tartar beberapa tahun lamanya, sambil memperluas keislamannya,
mengajarkan syahadat, shalat, serta melakukan pengobatan. Pengobatan yang
dilakukan oleh Sunan Gunung Jati yaitu dengan syahadat dan shalat. Di sana pun
Syarif Hidayat sempat belajar membuat keramik.
Karena
ketenaran Syarif Hidayatullah, Raja Cina memanggilnya untuk menguji Syarif
Hidayat. Pada saat itulah Syarif Hidayat bertemu dengan Putri Ong Tin Nio yang
kelak menyusulnya ke tanah Jawa dan menjadi istrinya.
Setelah dari negeri Cina, Syarif Hidayat ke tanah Jawa dengan
terlebih dahulu menjemput Raja Lahut. Dengan membawa seratus orang prajurit
mereka kembali ke tanah Jawa.
Setibanya
di tanah Jawa, Syarif Hidayat disambut dengan gembira. Mereka berkumpul di Bale
Jajar bersama Babu Dampul dan Ki Gusah. Kabar tentang kedatangan Syarif Hidayat
terdengar oleh para pembesar di Cirebon diantaranya Ki Gedeng Kali Wulu, Ki
Gedeng Kaliwedi, Ki Gedeng Bangulara, Ki Gedeng Bangayalu, Ki Gedeng Maja, Ki Gedeng
Kalideres, Ki Gedeng Konda, Kyai Gedeng Gegesik, Ki Gedeng Waru, Gedeng Dawuhan,
Ki Gedeng Cideng. Mereka kemudian menghadap pada Syarif Hidayat. Kemudian datang
juga menghadap Gedeng Malaka, Gedeng Kalitengah, Gedeng Sembung (Kalisapu),
mereka semua mengunjungi pakuwon, menyampaikan hormatnya kepada Syarif Hidayat/Syekh
Maulana Kabir. Hadir pula para buyut diantaranya Ratu Junti, Ratu Gumulunggu,
Ratu Jepura, serta Dipati Cengal. Semuanya berkumpul menyampaikan keinginan
mereka untuk menobatkan Syekh Maulana menjadi raja di Carbon. Akan tetapi Syekh
Maulana Kabir belum bersedia. Ia bermaksud menjemput ibundanya dulu di Mesir
sehingga dapat menyaksikan penobatannya. Kemudian Syekh Maulana Akbar
menyerahkan urusan rumah tangga pada Babu Dampul dan berangkat menjemput
ibundanya di Bani Israil. Sesampainya di Mesir Syekh Maulana menyampaikan
keinginannya agar ibundanya berkenan tinggal di Sembung bersamanya di wilayah dawil
arham (suci, tercinta milik Allah Ta’ala).
Sementara
di Gunung Jati kehadiran tamu yaitu Pangeran Panjunan. Pangeran Panjunan
beserta rombongan dating beserta pengikut dan prajuritnya. Serdadu yang
dibawahnya sangat menakutkan. Patih keling sangat terkejut kemudian ia memeriksanya. Patih keling menyambut
Pangeran Panjunan dan menyampaikan bahwa pemimpin mereka Syekh Maulana sedang
pergi ke Bani Israil.Kemudian Pangeran Panjunan berpesan bahwa ia ingin bertemu
dan ingin membicarakan tentang ilmu. Rombongan tamu itu pun pulang meninggalkan
Gunung Sembung menuju Kebon Syarif, di Panjunan.
Syekh
Maulana pulang dengan ibunya beserta raja Cempa tiba di gunung sembung. Tak
lama kemudian datang dengan gaduhnya meniup terompet dan tambur dan tidak
ketinggalan barisan prajuritnya. Syekh Maulana Jati kemudian menemuinya Pangeran
Panjunan mereka diterima di Mande Patani.
Pangeran
Panjunan pun sudah dipersilahkan duduk, duduk di tempat yang sesuai dengan
kedudukannya. Pangeran Panjunan berkeinginan menjadi raja karena merasa datang
terlebih dahulu ke Carbon dan merupakan keturunan raja Mesir yang lebih senior
daripada Syekh Maulana. Sehingga ketika Syekh Maulana datang ia bermaksud
mengadu ilmu guna menentukan siapa yang pantas menjadi raja.
Pengikut
Pangeran Panjunan, bertanya pada Syekh Maulana maksud kedatangan ke Pulau Jawa,
apakah ilmu yang dimiliki berani mengislamkan tanah Jawa, apakah ilmu yang
dimiliki. Pangeran Panjunan merasa pantas menjadi raja karena sakti dan telah
berguru pada Syekh Junaid. Dengan rendah
hati Syekh Maulana menjawab bahwa modal yang ia bawa hanya dua kalimat
syahadat. Sebagai orang muda ia Syekh
Maulana hanya memberanikan diri dan meminta Pangeran Panjunan mengajarinya.
Pangeran Panjunan mengatakan bahwa orang yang telah mencapai derajat makrifat
untuk apa bersyahadat dan shalat. Dijawab oleh Syekh Maulana bahwa seandainya seperti itu, bagaimana kita memandang masalah. Adapun
yang dipandang keadaan kawula gusti, ada ratu/ raja ada rakyat, bila mana
hanya sekedar berkonsentrasi pada tauhid,
yang mana yang menjadi raja apabila menggunakan kesatuan/ menjadi satu. Siapa
yang menjadi umat, siapa yang menjadi Tuhan.
Sungguh keadaan yang tidak ada ujungnya.
Syekh
Syarif mengatakan bahwa gurunya adalah nyawa Rasulullah dan gurunya adalah
Syekh Jumadil Kkabir, Wali Aretullah, Syekh Datuk Sidiq dari Pasai, Syekh Datuk
Bahrul dan ayahanda Sunan Ampel Denta
yang menyuruhnya menetap di Gunung Amparan Jati.
Kemudian
Pangeran Panjunan termenung. Syekh Maulana bertanya apakah tujuan membangun
masjid di Panjunan bila diterlantarkan, apakah hanya sekedar untuk menunjukkan
kekuasaan pada para pengikut saja, dan hanya untuk menunjukkan siapa yang
dipanggil Pangeran dan apakah Pangeran ingin
menjadi raja tanpa pengikut, tanpa usaha. Pangeran Panjunan merasa kalah berargumentasi.
Ia mengakui bahwa Syekh Maulanalah yang benar dan mengatakanbahwa Syekh
Maulanalah yang lebih pantas untuk menjadi raja. Sehingga akhirnya Pangeran
Panjunan bersama keluarga ke Wringin Pitu, suatu daerah di kaki bukit
Plangon/ Bukit Kera di Kabupaten Cirebon.
Syekh
Maulana merupakan pribadi yang rendah hati, tidak sombong. Ia sopan dalam
bertindak dan santun dalam berkata, memiliki kecerdasan berpikir dan spiritual,
matang ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu agama. Syekh Maulana merupakan perwira yang tangkas yang banyak memiliki
pengikut yang mumpuni baik dari kalangan raja, pembesar, maupun panglima.
Syekh
Maulana memiliki konsep yang visioner dan wawasan berpikir internasional,
dengan telah dikunjunginya berbagai Negara ketika ia belajar dan berkelana. Hal
tersebut jauh berbeda dengan Pangeran Carbon, sepupunya yang hanya menjadi
penguasa dan panglima angkatan perang di wilayah Cirebon.
Syekh
Maulana kemudian diangkat menjadi raja.
Ia mengudang kepada Sunan Kalijaga, Pangeran Drajat, Pangeran
Makdum, Pangeran Luwung, Pangeran Sendang, Pangeran Tayuman, Pangeran Reken di
Losari, Pangeran Pasalaka, Pangeran Magrib, Pangeran Gagak Lumayu, Pangeran Satang
Lumari, Pangeran Kajaksan, Pangeran Plangon, Pangeran Karang Kendal, Pangeran
Bramacari, Pangeran Welang, Pangeran Supekik, Pangeran Carbon Girang, Pangeran
Wanacala, Pangeran Sucimana, dan Pangeran Kedung Soka.
Para
pembesar berkumpul untuk melaksanakan penobatan Syekh Maulana menjadi Susuhunan
di Pakungwati, disaksikan oleh ibundanya Nyi Mudaim serta Uwanya sunan Rangga,
dan kakandanya Pangeran Jakerta, Raja Cempa. Pangeran Panjunan dan pengikutnya
mendukung dengan cara membangun pagar-pagarnya, membuat pintu-pintu kerajaan,
merancang pedaleman serta menyiadakan tukang batunya. Dari Majapahit datang Raden
Sepat, yang mempunyai hubungan keluarga dengan Panjunan. Ki Gedeng Kagok Garenjeng,
Pangeran Reken turut membantu Susuhunan. Tembok kota (kuta) Carbon sudah
bertaut, lawang saketeng juga sudah didirikan.
Syekh
Maulana diangkat oleh uwaknya pada tahun 1479 M menjadi Tumenggung di Nagari
Carbon disaksikan oleh ibunya sebagai legitimasi genealogis dan hukum tak
tertulis, bahwa ini memiliki waris sebagai penerus kerajaan di tanah Sunda. Ia
bergelar dengan gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Aulia
Allah Kutubizaman Kholifatur Rosulullah Shallollahu Alaihi Wassalam[1]
dengan didukung oleh semua pembesar di
pesisir Sunda. Sementara itu Wali
Sembilan yang hadir menyambut gembira
penobatan Susuhunan Jati. Para wali
memberi gelar Penetep Panatagama Rasul, menggantikan Syekh Nurjati.
Gelar klalifah yang diberikan kepada Syek Maulana Jati/ Syekh Jati merupakan
gelar dakwah melaui kekuasaan dari jalur
bapak. Dimana ia merupakan penerus pemimpin di luar jazirah Arab.
lihat juga di
http://cirebonmasalalu.blogspot.com/
[1] Pangeran Suleman Sulendraningrat, Babad Tanah
Sunda, Babad Cirebon, hal. 35.http://cirebonmasalalu.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar