Laksamana Cheng Ho[1] atau Wai Ping atau Zheng He
atau Te Ho
melakukan ekspedisi
pertama tahun 1405-1407 yang dimulai 11 Juli 1405. Laksamana Cheng Ho disertai rekan
sejawatnya Ching-huang melawat ke San Fo
Ji (Sriwijaya/ Palembang) dengan tujuan utama menangkap seorang perompak
dan pemberontak Ch’en Zuyi beserta pengikutnya yang menyingkir dari Provinsi
Fujian.
Titah Kaisar Ming
pertama itu didasarkan pada laporan dari seorang Tionghoa lain yang tinggal di
Palembang bernama Shi Jinqing. Ch’en Zuyi sangat kaya dan kekayaannya itu
didapat dari pekerjaannya sebagai perompak di lautan yang menyerang kapal-kapal
pembawa harta yang lewat perairan dekat Palembang. Ia menjadi penguasa lokal di
sana dan memerintah dengan sangat kejam, walaupun secara de facto
wilayah Palembang berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Majapahit di Jawa.
Sekembalinya dari ekspedisi
pertamanya, Cheng Ho dan pasukannya berhasil menangkap perompak dan
pemberontakan yang dipimpin oleh Ch’en
Zuyi serta membunuh 5.000 orang serta
merampas 17 kapalnya.Ch’en Zuyi dibawanya kembali ke Tiongkok. Kemudian Ch’en
Zuyi diserahkan pada Kaisar di Nanking. Ia kemudian dihukum mati di hadapan Kaisar.
Karena harus menumpas dan menangkap para perompak dan pemberontak, kembalinya
ke Nanking mengalami keterlambatan tiga bulan. Ia tiba di ibukota Nanking pada
tanggal 2 Oktober 1407 M.
Setelah Ch’en Zuyi dihukum, sebagai tanda terima kasih, Kaisar menghadiahi Shi Jinqing dengan mengangkatnya sebagai penguasa Palembang. Khusus untuk Palembang, nama-nama yang berhasil diungkapkan adalah San Fo Ji (mengacu ke Sriwijaya), Pa Lin Fong, Po Lin Bang atau Jiu Jiang (secara harfiah berarti “Pelabuhan Lama” atau “Sungai Lama”).
Setelah Ch’en Zuyi dihukum, sebagai tanda terima kasih, Kaisar menghadiahi Shi Jinqing dengan mengangkatnya sebagai penguasa Palembang. Khusus untuk Palembang, nama-nama yang berhasil diungkapkan adalah San Fo Ji (mengacu ke Sriwijaya), Pa Lin Fong, Po Lin Bang atau Jiu Jiang (secara harfiah berarti “Pelabuhan Lama” atau “Sungai Lama”).
Menurut Purwaka Caruban Nagari, kedatangan armada
Angkatan Laut Cina pada tahun 1415 M dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho bersama Ma Huan[3],
penulis dan penerjemahnya yang beragama
Islam, membawa
63 perahu dengan jumlah pasukan 27.800 orang, yang terdiri dari perwira, prajurit,
ahli perbintangan, tabib, para penterjemah, akuntan, ahli mekanik, pedagang, perajin,
tukang emas dan permata[4]. Mereka melakukan tugas
muhibah atas perintah Kaisar Cina Chen Tu atau Yung Lo, Raja Dinasti Ming III. Tugas utama misi ini adalah membina
persahabatan yang erat dengan kerajaan-kerajaan di seberang lautan serta
mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming[5].
Misi ini adalah misi persahabatan yang berbeda dengan misi para penjelajah
Eropa. Misi dari perjalanan Laksamana Cheng Ho bukan misi imperialis, di setiap
daerah yang disinggahinya, ia tidak punya keinginan untuk mendudukinya. Di manapun
tidak ada orang Tionghoa yang mendirikan kantor dagang, tidak pula mendirikan kota-kota
militer yang diperkuat[6].
Dalam masa tujuh kali pelayarannya, ia berhasil memindahkan 25.000 orang Cina
dari Provinsi Yunan dan Swatow di Cina Selatan ke Palembang, Kalimantan, dan
Pulau Jawa. Di Jawa, imigran Cina ditempatkan di Banten, Cirebon, Semarang,
Juwana, Jepara, Gresik, Ampel (Surabaya), dan Bangil.
Setibanya
di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon, mereka diterima oleh Ki Gedeng Jumajanjati
atau Ki Gedeng Tapa, selama tujuh hari tujuh malam dan
menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang
bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dalam persinggahannya, armada
Cina itu sempat mendirikan mercusuar di atas Bukit Amparan Jati. Sebagai
imbalan atas mercusuar yang didirikan, mereka diberi garam, terasi, beras tumbuk,
rempah-rempah, dan kayu jati oleh Jurulabuhan Dukuh Pesambangan[7].
Jika kita melihat apa yang tercatat
dalam Negara Kretabumi dan Purwaka Caruban Nagari, maka keberadaan mercusuar
karya bangsa Cina itu ternyata bukan saja sebagai menara pengawas bagi kapal dan perahu, tetapi mercusuar itu
juga merupakan tengara, bahwa akan
datang sebuah perubahan zaman, yakni masuknya agama Islam. Setelah kedatangan Armada Cheng Ho banyak berdatangan pendatang
beragama Islam.
[1] Cheng Ho, Zhèng Hé dalam
ejaan pinyin bahasa Tiongkok (Mandarin), menurut Wade-Giles: Cheng Ho;
nama asli dalam ejaan pinyin adalah Ma Sanbao; nama
Arab: Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433M), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok
terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 M hingga 1433 M.
[3] Ma Huan adalah seorang muslim. Ia menemani Laksaman Zheng He sebanyak tiga kali dalam tujuh kali
pelayarannya. Ia pandai berbahasa Arab, dan bertugas sebagai penerjemah
sekaligus reporter. Tulisan terakhirnya
mengenai pelayaran Laksamana Zheng He adalah tahun 1433 M. Ma Huan
mencatat semua pengalaman yang
disaksikannya dan menuangkannya dalam buku yang berjudul Perjalanan Yingyai sheng-lan (The Overall Survey of the
Ocean’s Shores yang berarti Survei Menyeluruh Wilayah-wilayah Pesisir) dipublikasikan pada tahun 1451 M. Buku itu merupakan deskripsi yang didasarkan pada
observasi pribadi mengenai wilayah-wilayah yang terbentang mulai dari Asia
Tenggara daratan di Timur, Asia Selatan,
sampai ke Mekah di Barat. Akan tetapi, salah satu kesukaran yang dihadapi dalam
membaca buku yang ditulis Ma Huan itu adalah dalam mencocokkan nama-nama
wilayah dalam ejaan bahasa Tionghoa kuno dengan nama sebenarnya. Sumber : Ma Huan, Ying-yai sheng-lan : “The Overall
Survey of the Ocean’s Shores, J.V.G. Mills, trans and ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), hal.34-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar