Senin, 28 Januari 2013

Berdrinya Caruban Nagari


Caruban Nagari, atau yang lebih di kenal dengan Grage (Negara Kedhe) diperkirakan jatuh pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 saka yang bertepatan dengan tanggal 8 April 1445 Masehi, hari Kamis, serombongan penduduk sebanyak 52 orang yang di pimpin oleh Ki Samadullah mendirikan sebuah desa di kawasan Hutan Pantai yang di sebut Tegal Alangalang yang biasa juga di sebut Kebon Pesisir. Penanggalan Hijriyah pada waktu itu adalah 29 Dzulhijjah tahun 847, atau mungkin sudah jatuh kepada tanggal 1 Muharrram 848 H.
            Penduduk desa baru itu memilih Ki Danusela yang telah 5 tahun bersama keluarganya bermukim dikawasan itu menjadi kuwu mereka yang pertama. Karena Ki Danusela kebetulan menantu Ki Gedeng Kasmaya raja Cirebon Girang, maka desa baru itu dinamai CirebonLarang atau Cirebon Pasisir. Mungkin semula kerajaan Ki Gedeng Kasmaya di lereng Gunung Cireme itu bernama Cirebon (saja). Baru setelah ada Cirebon Pasisir kerajaan itu disebut Cirebon Girang agar tidak tertukar dengan Cirebon yang didirikan oleh Ki Samadullah.
                Samadullah adalah nama pemberian gurunya, Syekh Datuk Kahfi guru agama islam mazhab Syafi’i di Amparan Jati. Nam aslinya adalah Pangeran Walangsungsang putra sulung Sri Baduga Maharaja dari Suabanglarang. Telah diutarakan bahwa Subanglarang pernah menjadi murid Syekh Hasanudin di Pondok Kuro, Karawang. Karena ia beragama islam anak-anaknya di izinkan menganut agama ibunya sejak kecil. Mereka adalah Walangsungsang, Rara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya wafat ketiga anakanya itu merasa tidak betah lagi tinggal di Pakauan karena selain persaingan antara putera raja cukup sengit walaupun terselubung. Walangsungsang dan adik-adiknya merasa lebih betah tinggal pada kakenya di Singapura. Kakeknya,  Ki Gedeng Tapa, adalah penguasa Singapura yang merangkap menjadi jurulabuhan di Muara Jati. Gedeng Tapa sebagai raja daerah dan sekaligus syahbandar sangat kaya. Terbukti kemudian dengan harta kekayaan yang diwarisinya dari Ki Gedeng tersebut Walangsungsang mampu membangun Keraton Pakungwati lengkap dengan pembentuykan pasukan baru.
            Telah dituturkan bahwa Lemah Kawikwan sekjaligus merupakan Binaya Panti (tempat mencari ilmu) karena pada silam yang di sebut Guru Utama adalah Maha Pandita. Juga pustaka-pustaka biasanya tersimpan di Kabuyutan karena ilmu waktu itu termasuk bagian dari agama sehingga pustaka-pustaka ilmu termasuk barang “keramat”.
            Seorang Toahaan (keturunan raja = pangeran) yang ingin bermutu harus rajin membaca pustaka, yang artinya harus rajin mukim di kediaman pendeta. Sebagai seorang Tohaan Walangsungsangpun tidak terlepas dari pola pikiran semacam itu. Ia haus akan ilmu dan pustaka serta mendambakan kehadiran seorang guru. Hal itu tidak dapat dipenuhinya di Pakuan dan sekitarnya karena ia seorang muslim yang mungkin selama di Istana hanya dapat belajar agama dari ibuanya. Setelah ibunya wafat, bagi dia dan adik-adiknya tak ada lagi penenang batin yang memadai. Makin keraslah niat Walangsungsang untuk meninggalakan Pakuan.
            Menurut kisah ia lolos malam hari, tetapi mungkin saja ia pergi baiuk-baik sebab tak ada alasan untuk menyembunyikan maksudnya untuk pergi ke Timur. Disana ada kakenya, baik dari piahak ayah maupun darai pihak ibu. Situasi pemeritahan dalam periode tersebut pada umumnya tidak fahami oleh para penulis babad. Pada saat Walangsungsang pergi dari Pakuan, penguasa btetinggi di Jawa Barat Wastu Kancana kakek Siliwangi yang waktu itu tentu belum bergelar “Siliwangi” ia masih Prabu Anom  tau wakil raja dibawah pemerintahan mertuannya, Prabu Susuktunggal. Demikian pula halnya dengan pusat pemerintahan yang waktu itu berkedudukan di Kawali, bukan di Pakuan.
            Jalan yang di tempuh Walangsungsang tentu sama dengan jalur yang dilukiskan oleh Bujangga Manik dalam kiasah perjalannya yang dilakukan beberapa tahun kemudian. Ia sampai ditempat Ki Danuwarsih seorang pendeta Budha yang menurut Pustaka Kertabhumi  1/4 tinggal di “Parahyangan bang wetan”. Ayahnya Ki Danausetra, adalah seorang pendeta Budha bertasal dari Gunung Dieng yang kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh (sebelum kawali).
            Hal itu menunjukan bahwa Walangsungsang memang haus akan ilmu. Di Pakuan tak mungkin berguru kepada pedeta karena semua orang tahu bahwa dirinya seorang muslim. Di Galuh ia berani melakukanya karena tidak akan ada orang yang “usil” terhadap dirinya. Dirumah Ki Danuwarsih itulah ia bertemu dan berjodoh dengan Nyi Indang Geulis putri sang pedeta. Nama itu nama sunda karena Ki Danuwarsih sendiri dilahirkan di Galuh.
            Ke rumah Ki Danuwarsih inilah kemudian Rara Santang tiba menyusul kakaknya. Adik mereka yang bungsu Raja Sangara tetap tinggal dipakuan dan baru kemudian setelah Cirebon berdiri ia pun berkumpul dengan kedua kakaknya. Hal ini membuktikan pula bahwa kepergian Rara Santang dari Pakuan dilakukan dengan terang-terangan tidak “lolos diam-diam” seperti lukisan babad. Logisnya ia akan disertai pengiring untuk keselamatannya. Rara Santang waktu itu adalah cucu penguasa Sunca-Galuh, Maharaja Niskala Wastu Kencana, lalu ayahnya menjadi prabu anom di Pakuan dan orang kedua dalam urutan ahli waris tahta Galuh bila Wastu Kencana telah tiada. Puteri semacam itu tidak akan dibiarkan “lolos” apalagi terlunta-lunta.
            Kemudian Walangsungsang bersama isteri dan adiknya pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi yang membuka Pondok Kuro di kaki Bukit Amparan Jati. Hal itu tentu atas prakarsa kakeknya, jurulabuhan Ki Gedeng Tapa raja Singapura. Dahulu putrerinya Subanglarang, dikimkannya belajar agama islam ke Ponndok Kuro Karawang. Setelah ada pesantren di Amparan Jati ia memilih pesantren ini untuk kedua cucunya karena terletak didaerah Cirebon. Seperti Syekh Hasanudin di Karawang, Syekh Datuk Kahfi pun sahabat Ki Jurulabuhan. Sebagai syah Bandar ia mempunyai pergaulan yang luas tanpa membedakan agama atau asal-usul kebangsaannya. Tetapi dibalik semua hal itu dapat terjadi karena keterbukaan sikap penguasa tertinggi Negara yaitu Wastu Kancana ayahanda Ki Juru Labuhan.
            Dari gurunya, Walangsungsang mendapat nama Samadullah. Gurunya menyarankan agar ia membuka perkampungan baru untuk penyiaran agama islam. Ia memilih kawasan hutan di kebon pasisir yang disebut Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk. Disitu telah ada Ki Danusela adik Ki Danuwarsih. Kampong yang sudah ramai didekatnya adalah Dukuh Pasambangan kampung yang pernah dimukimi oleh Haji Baharudin alias Ki Haji Purwa. Dibantu oleh sekelompok penduduk dukuh itulah Walangsungsang alias Ki Samadullah membuka perkampungan baru seperti telah diutarakan dalam awal paragraph ini.
            Penduduk kampung itu campuran berbagai bangsa dan agama. Mereka sepakat memilih Ki Danusela menjadi Kuwu mereka. Nama kampung itu mula-mula Tegal Alang-alang dan Walangsungsang menjadi Pangraksabumi dengan sebutan Ki Cakrabumi. Tiga tahun kemudian nama kampung itu di ubah menjadi kampung Cirebon Larang atau Cirebon Passir meniru nama Cirebon Girang tempat mertua Ki Danusela. Itula awal dari kelahiran Cirebon yang dibuka oleh Pangeran Walangsungsang  pada tanggal 14 bagian gelap bulan Caitra tahun 1367 Saka.
            Atas peintah gurunya pula Walangsungsang pergi naik haji ke Mekah. Karena isterinya tengah mengandung, ia pergi berdua bersama adiknya, Rara Santang. Di pelabuhan Jedah mereka berjumpa dengan Syarif Abdullah. Naskah babd selalu menyebunya sebagai “sultan Mesir” tetapi dalam naskah-naskah Wangsakerta ditegaskan bahwa Syarif Abdullah “dumadi ratwing sawijni ning kitha ing masir nagari” (menjadi salah satu penguasa kota di negeri Mesir) atau “rajamandala ing masir nagari” (raja daerah di negeri Mesir). Wangsakerta pun menegaskan bahwa Syarif Abdullah berasal dari “wangsa hasyim yang dahulu pernah menguasai Palestina tempat tinggal Bani Israil” dan sultan Mesir waktu itu disebutkan wangsa Ayubi dari Bani Mameluk.
            Jadi, ketidakcocokan tokoh Syarif Abdullah dalam sejarah Cirebon dengan sejarah Mesir hanya terdapatdalam naskah-naskah yang lebih muda, termasuk naskah Purwaka Caruban Nagari. Dalam Keratbumi kadang-kadang ada sebutan “sultan  Mesir” untuk kepraktisan, tetapi didahului dengan keterangan di muka. Demikian pula halnya dengan Sulaiman Al-Bagdad yang hanya seorang raja daerah.
            Rara Santang kemudian menjadi Isteri Syarif Abdullah. Sementara menunaikan ibadah haji mereka tinggal dirumah saudara Syekh Datuk Kahfi. Rara santang mengikuti suaminya ke Mesir dan mendapat nama Syaripah Mudaim sedangkan Walangsungsang mendapat nama Haji Abdullah Imam dari gurunya di Mekah, Syekh Abdul Yajid. Setelah tiga bulan ia kembali ke Pulau Jawa denagan singgah di Bagdad dan Cempaka.
            Di Cempaka ia berguru kepada Syekh Ibrahim Akbar yang di Jawa disebut Sekh Jatiswara. Walangsungsang dijodohkan dengan puterinya, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Cirebon bersama isterinya itu. Ia menjadi guru agama di desa Cirebon. Indang Geulis telah melahirkan seorang puteri yang dinamai Nyai Pakungwati. Kemudian Walangsungsang menikah dengan Reta Riris puteri Ki Danusela dan diganti namanya menjadi Kancanalarang.
            Setelah Ki Danusela wafat, Walangsungsang menjadi kuwu di Cirebon yang kedua. Ketika kakeknya Ki  Jurulabuhan wafat, ia tidak mewarisi kedudukannya, melainkan memperoleh warisan berupa harta. Kemudian ia mendirikan istana yang dinamainya Pakungwati seperti puteri sulungnya. Dengan harta warisan itu pula ia membentuk kesatuan tentara. Pembentukan “kerajaan” Pakungwati ini direstui oleh ayahnya yang segera mengutus Ki Jagabaya untuk menyampaikan tanda kekuasaan dan memberi gelar Si Mangana. Bersama dengan Ki Jagabaya ikut pula Raja Sangara adik Bungsu Walangsungsang.
            Kelak setelah Syarif Hidayat, putera Rara Santang dan Syarif Abdullah menetap di Cirebon dan menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat, Walangsungsang menobatkan suannya ini menjadi Tumenggung Cirebon. Pada saat itu penyebaran agama islam telah sampai di Kuningan  atas jasa Syekh Maulana Akbar alias Syekh Bayanullah adik Syekh Datuk Kahfi. Ketika Pangeran Walangsungsang bersama adiknya naik haji, mereka menumpang dirumah Syekh Bayanullah ini. Waktu Syekh Bantong putra Syekh Kuro dari Karawang naik haji, Syekh Bayanullah kemudian ikut Ki Bantong pulang ke Pualau Jawa. Syekh Bayanullah kemudian mendirikan Pondok Kuro didesa Sidapurna, Kuningan. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, Puteri Surayana, lurah Sidapurna. Surayana adalah putera Prabu Dewa Niskala dari isterinya yang ketiga. Dari perkawinan ini Syekh Bayanullah berputera Maulana Arifin.
            Maulana Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati penguasa Kuningan Cucu Prabu Siliwangi. Ia adalah adik Raden Jayaraksa  alaias Ki Gedeng Luragung dan kakak Raden Bratawiyana atau Arya Kemuning. Mereka di islamkan oleh uanya, Pangeran Walangsusang. Ketika Syarif Hidayat diangkat tumenggung oleh uanya, agama islam sudah berakar luas sampai di Kuningan dan Luragung.Atas dasar itulah, Syarif Hidayat dengan dukungan para kamastu (wali) memutuskan bahwa Cirebon harus menjadi Negara pusat kekuatan agama islam yang merdeka pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra 1404 Saka (Maret/April 1482 Masehi), Syarif Hidayat menjadi raja Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati. Waktu itu kakeknya, Sri Baduga Maharaja, baru saja di nobatkan menjadi Maharaja.
            Ketika berita itu sampai di Pakuan, Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya bersama anak buahnya untuk “menertibkan” Cirebon dan mengatasi keadaan. Akan tetapi Jagabaya di sergap di dekat Gunung Sembung oleh pasuakan gabungan Cirebon-Demak. Pasukan Demak dibawa ke Cirebon oleh Raden Patah ketika ia menghadiri penobatan Susuhunan Jati. Ketika ia pulang, sebahagian pasukannya ditinggalkan di Cirebon untuk menjaga kemungkinan adanya serangan dari Pakuan. Jagabaya bersama pasukannya kemudian masuk Islam.
            Karena Jagabaya lama tidak kembali, Sri Baduga lalu mempersiapkan pasukan besar untuk menyerang Cirebon. Namun niat tersebut dapat di cegah oleh purohita (pendeta tertinggi keratin), Ki Purwagalih.mungkin kedudukan Syarif Hidayat sebagaicucu sang Maharaja dan ia pun di nobatkan oleh Pangeran Walangsungasang telah meredakan murkanya. Seorang kakek yang memerangi anak dan cucunya tentu akan di cemoohkan orang. Walaupun demikian tokoh setinggi purohita Ki Purwagalih ini dalam Babad Padajaran “ dijadiakan” panakawan Guru Gantangan dengan tingkah laku ala Karang Tumaritis.
            Cirebon akhinya menjadi Negara merdeka. Sebelumnya, Cirebon termasuk kawasan Galuhyang di tempatkan dibawah pengawasan Arya Kiban, bupati Galuh yang berkedudukan di Palimanan. Karena pusat pemerintahan dialihkan dari Kawali ke Pakuan, Sri baduga menunjuk Jayaningrat, salah seorang putera Dewa Niskal, menjadi raja di daerah Galuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar