Selasa, 03 Januari 2012

Sejarah Batik Cirebon


Dalam perjalanan waktu, ternyata Trusmi mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Keraton Cirebon. Sejarah  Batik Trusmi pun  tidak lepas dari nama  Mbah Buyut Trusmi serta Ki Gedeng Trusmi, yang terletak di Desa Trusmi, Kecamatan Weru, 7 km sebelah barat Cirebon dan 1,5 km utara Cirebon-Bandung atau jalur utama Cirebon-Jakarta. Untuk transportasi umum ke Trusmi cukup banyak dari Cirebon, yakni dengan menggunakan angkot jurusan ke Plered, dan ke Situs Trusmi bisa dengan becak atau ojeg.
Situs Trusmi adalah situs yang kedua setelah Situs Astana  dalam hal pengunjung dan festivalnya, walaupun ukurannya lebih kecil dari Astana. Tidak seperti Astana, yang langsung di bawah pengawasan keraton, Trusmi sekarang tidak lagi demikian. Dalam kepengurusan makam di Trusmi, harus keturunan dari pengurus yang lalu, tetapi dalam beberapa hal, keputusan terakhir dimusyawarahkan dengan aparat desa, terutama kepala desa dan tidak melibatkan sultan. Dalam hal ini tidak jelas sejak kapan kesepakatan ini dimulai.[i]
Menurut buku yang diterbitkan Badan Kombudpar Kabupaten Cirebon, Mbah Buyut Trusmi adalah Pangeran Cakrabuana yang datang ke daerah tersebut untuk mengajarkan Islam, bercocok tanam dan mengasuh cucunya Bung Cikal (Pangeran Trusmi), setelah menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Sunan Gunung Jati. Bung Cikal dalam buku ini merupakan anak dari Pangeran Arya Carbon dengan Nyi Cupuk, anak Ki Gede Trusmi (Muhaimin, 2001). Pangeran Arya Carbon telah meninggal ketika Bung Cikal masih kecil. Sedangkan Ki Gede Trusmi merupakan orang taklukan Mbah Kuwu Cerbon II.  Menurut buku ini, nama Trusmi diambil dari kebiasaan Bung Cikal sewaktu kecil yang senang memangkas tanaman yang baru bersemi. Namun setiap kali dipangkas, tanaman tersebut semakin subur, sehingga dinamakan Pedukuhan Trusmi. Pedukuhan Trusmi berubah menjadi Desa Trusmi diperkirakan pada tahun 1925, bersamaan dengan meletusnya Perang Diponegoro.
Ki Gedeng Trusmi dalam Naskah Mertasinga disebut sebagai Bung Cikal. Bung Cikal asal kata dari rebung (bambu muda).  Ketika itu, ibu Bung Cikal, Nyi Rara Konda yang merupakan anak dari Pangeran Cakrabuana, sangat menginginkan makan rebung. Menurut naskah tersebut, Bung Cikal adalah anak Nyi Rara Konda dengan Sunan Gunung Jati, yang kelak menuntut gugat waris kepada para wali pada saat pemerintahan Panembahan Ratu. Namun usahanya menuntut waris gagal, karena pada saat itu hadir Sunan Kalijaga yang mengatakan bahwa Bung Cikal tidak mendapatkan hak  waris karena bukan putra.
Dalam hal ini sejarah Ki Gedeng Trusmi merupakan sejarah peteng, yaitu sejarah yang ditutupi duduk perkaranya, mengingat kondisi sosial politik yang berkembang pada saat itu.
Setelah beliau gagal menggugat waris, oleh Sunan Kalijaga Bung Cikal diperintahkan pergi ke daerah gundul untuk ditanami. Lama-kelamaan daerah tersebut tumbuh tunas-tunas yang terus bersemi sehingga menjadi pedukuhan yang kian ramai sehingga diberi nama Trusmi.
Namun menurut sumber lain, Naskah Mertasinga,[ii] ketika Sang Anom (Sunan Gunung Jati) tengah duduk tafakur di Jabal Muqamat, di bawah pohon Bambu Gading, dia melihat ada seorang gadis berlalu di kaki bukit, yaitu Nyi Rara Konda, anak Nyi Gedeng Jati dengan Pangeran Cakrabuana. Melihat gadis itu hati Sang Anom tergetar tiada henti, sebagaimana halnya jejaka melihat gadis, hatinya terasa bahagia sekali, sang Anom kemudian meraga sukma. Rara Konda pulang dan menangis tersedu-sedu dihadapan ibundanya, dia merajuk tak bisa dibujuk lagi menginginkan rebung (anak pohon bambu) mangsa katiga. Nyi Gedeng Jati sangat masygul  hatinya melihat putrinya resah seperti itu. Dia pun pergi mencari rebung di puncak bukit. Sementara itu Sang Anom telah meninggalkan tempat tersebut.
Sang ibu memperoleh anak pohon bambu (rebung) gading dari puncak bukit yang besarnya hanya sekepal. Kemudian rebung itu diberikan pada putrinya. Nyi Rara Konda sangat gembira dan tidak menunggu dimasak lagi, didorong keinginannya yang demikian besar, dia segera menyantapnya mentah-mentah. Setelah menyantap rebung tersebut, konon Nyi Rara Konda menjadi hamil tanpa bersuami dan melahirkan anak laki-laki. Nyi Gedeng Jati sangat bahagia karena memperoleh seorang cucu laki-laki.
Mengenai rebung tunggal ini semua orang pernah mendengarnya. Anak itulah yang kelak bernama Gedeng Trusmi (dipanggil juga Bung Cikal, ‘Bung’ asal kata dari rebung) dan kelak menggugat waris pusaka dari para Wali. Permintaan itu ditolak dengan jawaban ‘ora oleh sing konone’ (tidak dapat dari sananya), sehingga kemudian dikenal ada peribahasa ‘ora olih sing Konda’. Gedeng trusmi pada kenyataannya bukan anak dari perkawinan, itulah yang disebut ‘yuga’, bukan anak sebenarnya, sehingga dia tidak memperoleh pusaka. Tetapi itu adalah masalah duniawi, karena tidak ada yang menyamai dengan derajat yang diwarisinya, yaitu kewaspadaan dalam hal ilmu pengetahuan.
Sedangkan menurut versi orang Trusmi, Ki Gedeng Jati mempunyai seorang anak gadis. Ketika gadis itu lewat di Kedaleman, kebetulan Pedaleman Sinuhun (Sunan Gunung Jati) di Gunung Jati Kulon sedang duduk-duduk  di bawah rindangnya awi gading (bambu gading). Ketika melihat gadis itu, meneteslah titisnya dan jatuh di atas rebung.
Pada suatu hari gadis itu berkata kepada ayahnya bahwa ia ingin sekali makan rebung bambu gading. Ki Gedeng pun pergilah memintanya di Kedaleman. Tak lama kemudian gadis itu hamil. Pada waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki bernama  Bung Cikal. Tidak dikisahkan masa kecil anak tersebut, tetapi setelah menginjak dewasa ia datang menghadap ke Kedaleman untuk meminta warisan. Pada sekitar tahun 1568 M itu yang menjadi sultan adalah Panembahan Cerbon I karena Pedaleman Sinuhun di Gunung Jati Kulon sudah meninggal dunia.
Sunan Kalijaga yang pada waktu itu berada di situ menolak permintaan Bung Cikal dengan mengatakan, “He Bung Cikal, sia teu boga waris sabab lain putra”. (He Bung Cikal, kamu tidak punya hak waris sebab bukan anak) dan memerintahkan membersihkan atau membuka leuweung kulon (hutan barat). Bung Cikal menebas semua pepohonan yang ada di hutan itu sehingga berubah menjadi tegalan gundul. Setelah terlihat demikian keadaannya, Bung Cikal diperintahkan lagi untuk mengolahnya. Maka ditanamilah tegalan yang telah gundul itu dengan pohon buah-buahan. Lama kelamaan pelataran itu amat subur dan menjadi pemukiman baru yang diberi nama Dayeuh Trusmi.
Di daerah Trusmi tersebut Ki Gede Trusmi melakukan penyebaran agama Islam sembari membatik. Menurut “Buku Sejarah Nama Desa di Cirebon”, Ki Gedeng Trusmi meninggal pada usia remaja dan dimakamkan dipuncak Gunung Ciremai.
Sedangkan Ki Gede Trusmi, menurut  buku Dinas Kombudpar Cirebon, merupakan orang taklukan PangeranWalangsungsang Cakrabuana yang kemudian memeluk agama Islam.
Baik Pangeran Cakrabuana maupun Sunan Gunung Jati memiliki peran yang cukup besar dalam perkembangan sejarah Trusmi. Pangeran Cakrabuana mendirikan Pesantren Curug Landung. Pesantren ini menatar para calon gegede/ ki gede tentang berbagai ilmu agama dan ilmu kemasyarakatan. Di pesantren ini pula Sunan Gunung Jati mengucapkan pepatah-petitih yang menjadi wasiat Sunan Gunung Jati yaitu “Bumi becil ala menungsa, Ingsun titip tajug lan fakir miskin”.Tajug pada zaman dahulu bukan hanya tempat shalat, tetapi merupakan tempat belajar. Miskin di sini bukan saja miskin harta tetapi juga miskin akidah dan nilai-nilai agama.
Sejalan dengan  perkembangan batik di keraton, di daerah Trusmi juga berkembang batik Trusmi. Trusmi pada saat itu termasuk ke dalam wilayah keraton Cirebon, di sana terdapat para penggede Keraton Cirebon. Situs-situsnya pun hingga kini masih dapat ditemui di daerah Trusmi, di antaranya situs petilasan Mbah Buyut Trusmi dan Ki Gede Trusmi. Situs Mbah Buyut Trusmi dan makam Ki Gedeng Trusmi hingga kini masih terawat dengan baik. Bahkan setiap tahun dilakukan upacara yang cukup khidmat, yaitu upacara Ganti Welit (atau rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun sekali.
Versi yang berbeda ditemukan dalam Muhaimin (2001). Dalam disertasinya yang dibukukan itu, dijelaskan bahwa orang yang tinggal pertama di daerah Trusmi adalah Ki Gede Bambangan. Ketika beliau sedang membersihkan  tanaman, beliau mendengar ucapan salam misterius, “Asalamualaikum.” Namun tak ada seorangpun di sana. Bersamaan dengan ucapan salam tersebut,  tanaman liar yang sedang dibersihkannya tersebut tumbuh bersemi kembali. Tidak lama kemudian, muncullah Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati dengan mengucap salam persis seperti yang ia dengar sebelumnya. Kemudian Ki Gede Bambangan masuk Islam.
Dari ke empat sumber di atas, Naskah Mertasinga dan Naskah Carios Ki Gedeng Trusmi merupakan bukti sekunder dalam sejarah, karena tidak ditulis sezaman dengan isi naskah tersebut. Secara logika, tidaklah mungkin Bung Cikal berasal dari titis Sunan Gunung Jati. Di sini mulai didapat titik terang, yaitu antara Ki Gedeng  Trusmi dan Ki Gede Trusmi adalah orang yang berbeda. Keturunan kemit sekarang bukanlah keturunan Bung Cikal melainkan keturunan Ki Gede Trusmi. Kemungkinan Bung Cikal menuntut hak waris Pangeran Cakrabuana, yang sebelum Sunan Gunung Jati bertahta, beliau menjadi penguasa Cirebon. Inilah yang dimaksud dari sejarah peteng. Sejarah sebenarnya dalam Keraton Cirebon yang tidak diceritakan karena hal ini di kemudian hari dapat menjadi percikan yang memyebabkan, perpecahan perebutan warisan dan tahta kepemimpinan.
Dari narasi-narasi naskah dan bukti yang ada di atas, dapat dilihat bahwa
1.      Trusmi pada saat itu merupakan bagian dari Keraton Cirebon, dimana para penggedenya masih kerabat keluarga Keraton Cirebon.
2.      Mbah Buyut Trusmi, Ki Gedeng Trusmi, dan Ki Gede Trusmi (Pangeran Trusmi) adalah orang yang berbeda. Pangeran Trusmi meninggal ketika masih remaja, sehingga tidak mungkin pengelola situs Mbah Buyut Trusmi adalah keturunan Ki Gedeng Trusmi (Pangeran Trusmi yang nota bene adalah keturunan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana). Yang masih mungkin adalah keturunan Ki Gede Trusmi dari jalur yang lain.
3.      Batik Keraton Cirebon telah berkembang lebih dahulu dibandingkan Trusmi. Karena Sunan Gunung Jati pada waktu pelantikannya telah memakai batik.
Situs Trusmi terdiri atas dua areal yang dipisahkan oleh ruang kecil dari pintu masuk bagian barat, menuju pintu masuk bagian timur. Areal pertama berada di sebelah selatan, yang terdiri atas masjid dan paviliunnya, sedangkan areal kedua berada di sebelah utara, yaitu makam Ki Gede Trusmi dan Pangeran Trusmi. Kedua areal tersebut dikelilingi oleh tembok batu-batu kuno setinggi 2 meter yang disusun tanpa semen.
Gambar 19.  Situs Trusmi
Gambar 20. Witana

Bangunan tertua yang didirikan oleh Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) disebut Witana, bandingkan dengan kata Witana dalam bahasa Jawa Kuna, adalah singkatan dari ‘wiwit ana’ yang berarti ‘yang pertama ada (dibangun)’. Witana oleh Walangsungsang dipakai untuk beristirahat dan mengajarkan ajaran Islam. Bangunan tersebut terletak dekat Pekulahan, kolam tempat mandi dan berwudlu yang airnya berasal dari sungai di dekat situ. Di sebelah witana berdiri masjid, salah satu bangunan utama kramat, meskipun sering direnovasi, masih tetap terlihat keantikannya karena struktur bangunan, atap kayu (sirap), tiang-tiang, memolo (kubah), mimbar dan kendi-kendi air (padasan) untuk berwudlu dipertahankan sebagaimana aslinya.
Bagian makam terdiri atas pendopo (ruangan penerimaan tamu), pekuncen (pondok juru kunci), dua jinem, bandingkan dengan kata Jinem dalam bahasa Jawa Kuna, (singkatan dari si-ji kang ne-nem, ‘satu mengandung enam’) di barat dan timur, untuk pemondokan para peziarah yang bermalam, sebuah ruangan penyimpanan 17 macam batu, ruang ganti pakaian juru kunci, paseban (ruangan peziarah), dan gedongan (bangunan batu) tempat makam Ki Buyut Trusmi dan Pangeran Trusmi. Semuanya adalah tanggung jawab 9 kelompok penjaga yang disebut kuncen. Mereka dipimpin oleh seorang sep (kepala juru kunci) yang direkrut dengan cara yang sama seperti pemilihan kepala desa. Sep yang sekarang adalah generasi ke-15 sejak Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana).[iii]
Sep dibantu oleh empat juru kunci dan empat kyai, para pembantu kunci, yang merupakan keturunan kuncen terdahulu. Jumlah sembilan penjaga ini, menurut Ki Turdjani, seorang kunci di Trusmi, bermakna ganda. Makna pertama adalah pekerjaan sembilan wali, penyebar Islam di Jawa, dan yang kedua adalah sembilan penyebar Islam di dunia, yakni Nabi, empat Khalifah pengganti Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dan empat imam mazhab syariat (Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i).
Bangunan fisik dan tradisi di Trusmi membawa pesan-pesan simbolis yang menekankan arti agama Islam sebagai agama yang rukun dan damai. Panjang keseluruhan tembok adalah 60 depa. Jumlah ini adalah perlambang jumlah nabi-nabi, 25 diantaranya adalah para rasul, dengan Nabi Muhammad sebagai rasul yang terakhir. Gagasan 25 pembawa wahyu dan nabi terakhir ditandai pada perayaan tradisional Maulid (muludan) di Trusmi, yang dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Mulud. Penggunaan depa (jangkauan dua tangan yang diluruskan, kira-kira sepanjang 1,75 m.) merefleksikan bahwa setiap nabi memimpin umat manusia menuju jalan yang lurus (sirat al-mustaqim), jalan satu-satunya yang membaawa manusia hidup selamat di dunia dan akhirat. Di seluruh tembok kompleks juga terdapat 60 kubah batu (candi laras), yang melambangkan bahwa risalah yang dibawa 60 nabi adalah guna menuju hidup yang harmonis antar sesama manusia dan alam.
Gambar 21.  Pintu makam Mbah Buyut Trusmi

Pintu masuk makam Mbah Buyut Trusmi, terdapat gapura yang punya arti ampunan, yang bermaksud bahwa tujuan utama dari orang-orang yang mengunjungi tempat tersebut ialah untuk memohon ampunan Tuhan, baik untuk orang lain yang masih hidup dan yang telah meninggal maupun diri sendiri. Pintu masuk sebelah timur yang menuju masjid, terdapat di dalamnya sebuah tabir dalam bentuk tembok yang berukuran tinggi 2 meter dan lebar 2 meter. Hal ini menandakan, jika seseorang ingin melakukan ibadah (shalat berjamaah di masjid), orang tersebut harus memiliki keputusan yang teguh dan rendah hati, yaitu hanya untuk Allah semata, bukan untuk orang lain. Pintu masuk sebelah barat yang menuju ke pendopo juga mempunyai maksud dan arti yang sama seperti penjelasan yang di atas, dengan tujuan untuk menjumpai orang-orang dan pekuncen (tempat juru kunci) untuk berziarah, sedekah atau untuk berhubungan dengan orang banyak, baik yang sudah mati ataupun yang masih hidup.
Menurut Ki Turjani, yang terpenting dari hal-hal yang di atas adalah adanya landasan kuat untuk menarik kesimpulan dari sekian banyak amsal bahwa Islam adalah agama yang damai, seperti yang diperkenalkan oleh para wali dengan cara yang damai dan halus, dengan menggunakan pendekatan berangsur-angsur, persuasi, dan cara-cara yang patut dicontoh. Dalam hal ini, aspek-aspek Islam sebagai agama damai dan selaras sangat ditekankan. Pada akhirnya, penggunaan kiasan dan cerita-cerita dongeng sebagai representasi simbolik sesuai dengan kondisi yang ada dan pandangan tentang dunia dan tradisi, merupakan ciri utama.[iv]

C:\Users\YOGA A N\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\DSCF4067.jpg   
Gambar 22. Denah makam Mbah Buyut Trusmi
Keterangan
1.      Gerbang barat                               12. Kuta hijab
2.      Kuta hijab                                      13. Pekulahan
3.      Pendopo                                        14. Witana
4.      Pakemitan                                      15. Pewadonan
5.      Jinem Kulon                                   16. Ruang istirahat untuk wanita
6.      Batu-batuan (Watu Pendadaran)   17. Masjid
7.      Ruang pakaian                                18. Jembatan
8.      Paseban                                         19. Sungai
9.      Makam Mbah Buyut Trusmi        20. Perkampungan
10.  Jinem Wetan                                   21. Jalan
11.  Gerbang Timur                               22. Kantor Desa

Para perajin batik di Trusmi pada awalnya merupakan sekelompok orang  yang mendalami ilmu tarikat dan tergabung dalam sebuah wadah tarikat Naqsabandiah wal Qodiriah yang dipimpin oleh Panembahan Trusmi. Wadah tarikat di sini mungkin saja berasal dari pesantren yang dulu didirikan oleh Pangeran Cakrabuana. Para perajin Trusmi dan Kalitengah pada saat itu didominasi oleh kaum pria, sehingga pekerjaan membatik dilakukan sebagai ibadah. Kemudian mereka berinisiatif melakukan usaha bisnis yang bersifat ekonomis dan bernilai agama sembari berdakwah.
Kegiatan membatik di Trusmi dan di keraton mengalami pasang surut. Terlebih ketika pada abad ke- 18 Cirebon mengalami berbagai macam masalah seperti kelaparan, wabah, kerusuhan sosial, dan emigrasi masal (Siddique,1977). Pada tahun 1943, di Cirebon terjadi kelaparan yang sangat serius karena Cirebon yang tadinya produsen dan pengekspor beras dipaksa menanam kopi, gula, tarum, teh, dan cengkeh oleh Jepang, yang saat itu menjajah Indonesia. Sehingga jangankan untuk membeli bahan sandang, untuk makan pun masyarakat mengalami masa susah.
Pembuatan batik Cirebon dilakukan oleh para perajin pada periode akhir hingga sekarang, dilakukan oleh orang yang sama, yaitu pembatik di desa Trusmi, sebuah desa di wilayah Kabupaten Cirebon, yang berjarak hanya beberapa kilometer saja dari Kota Cirebon. Desa tersebut sebagian besar penduduknya mengerjakan kerajinan batik. Tempat ini sekarang menjadi pusat industri kerajinan batik, baik tulis maupun cap. Seiring berjalanya waktu, para pembatik di keraton mulai memudar. Tetapi kegiatan membatik di daerah Trusmi berkembang kian pesat.
Gambar 23.   Sesepuh Trusmi

Di sana industri batik berkembang dengan pesat karena sebagian besar pengusaha menganggap usaha batik merupakan usaha bisnis murni. Business is business, sehingga persaingan usaha batik di sana sangatlah keras. Mungkin inilah yang menyebabkan para perajin Trusmi lupa, bahwa mereka, menurut Kartani (2008), sudah tercabut dari akar rumputnya yaitu tarikat. Bahkan banyak perajin dan pengusaha tidak mengerti makna filosofis yang terkandung dalam batik itu sendiri.[v]
Kondisi persaingan batik yang ketatlah yang menjadikan usaha batik berkembang pesat terutama batik pesisiran yang banyak diminati oleh pasar. Usaha baitik menjadi business minded. Sedangkan pemesan Batik Keraton Cirebon hanyalah kalangan keraton, seniman, dan kolektor. Namun demikian motif batik keraton yang berkembang di Cirebon tetap berakar dari keraton-keraton  Cirebon.
Masa keemasan Batik Trusmi terjadi sekitar tahun 1950-1968. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah sekolah  dari tingkat SD hingga SMA dan Koperasi Batik Budi Tresna yang sanggup membangun Gedung Koperasi yang sangat megah. Bangunan koperasi itu kini menjadi Museum Batik di daerah Trusmi.
Batik yang sekarang berkembang di daerah Trusmi sudah beraneka ragam. Bahkan beberapa galeri tidak hanya membuat batik Cirebon tetapi batik dari daerah lain. Hal tersebut dipicu oleh faktor pangsa pasar yang ada. Produsen batik membuat batik berdasarkan permintaan konsumen di pasaran.  
Gambar  24.   Pengurus Koperasi Batik di Trusmi tahun 1927. Baris atas nomor 2 dari kiri Madsimo, nomor 4 dari kiri Bapak Kadimini, dan nomor 5 dari kiri Sad Fis. Baris bawah nomor 2 (tengah-tengah) adalah Madciri Narkadi.

Menurut penuturan Elang Sugiarto, nenek buyutnya yang bernama Pangeran Parta  Kusuma dan istrinya Ratu Dewi Saputri, pada tahun 1899 M telah membeli sebidang tanah dan rumah yang terletak di Jalan Pulasaren, seharga 1500 gulden dari H. Ahmad Sodik dan istrinya Hj. Saodah. Rumah H. Ahmad Sodik dan Hj. Saodah tersebut merupakan salah satu pusat tempat pembatikan di Kota Cirebon yang terletak di Jalan Pulasaren, sebelah barat Keraton Kacirebonan Kota Cirebon. Pada masa-masa tersebut, banyak penduduk sekitar yang menjadi perajin batik di bawah pimpinan       H. Ahmad Sodik dan Hj. Saodah.[vi]
Menurut Drs. Rafan Hasim, mahasiswa S2 Filologi Universitas Padjadjaran Bandung, ada saran dari Keraton Kaprabonan kepadanya untuk nyalar (bertamu) kepada Pangeran H. Adimulya, putra dari Insan Kamil, yang tinggal di Pegajahan dan merupakan sesepuh keturunan Keraton Kaprabonan. Pangeran H. Adimulya menjelaskan bahwa pengertian mega mendung bukan dari Tiongkok, akan tetapi ciptaan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana sebelum kedatangan Putri Ong Tin dari Cina. Ketika Pangeran Walangsungsang Cakrabuana yang dikenal dengan Mbah Kuwu Cirebon (pendiri Cirebon) hendak berwudhu di sebuah telaga, beliau melihat bayangan mega mendung di danau tersebut. Bayangan mega mendung tersebut selalu bergerak tanpa henti, namun pada pusat mega mendung itu terdapat pusat pemberhentian yaitu klungsu, yang kalau interpretasi sekarang adalah mirip dengan koma, bukan titik. Klungsu adalah nama dari biji buah asem. Nama lain Klungsu adalah lungsi, Lungse adalah balungane yaitu kerangka atau skeleton, maka arti simbolisnya adalah ibadah harus terus-menerus atau tidak boleh terputus supaya tidak kelungse. Apabila lungse tidak dilanjutkan, maka pewarnaan unsur mega mendung maupun wadasan, baik pada batik maupun lukis kaca, akan gagal.
Menurut para sesepuh Keraton Kanoman dan Kasepuhan, cikal bakal motif mega mendung adalah kelungsu. Kelungsu adalah biji buah asem yang bentuk dasarnya mirip dengan bentuk awan.[vii]
Di Desa Pejambon, Cirebon, pernah ditemukan arca gajah megalitik. Bentuk arca gajah itu digambarkan sangat sederhana dalam posisi duduk, kaki belakang berlipat. Belalai menjulat ke depan, sementara kaki depan tidak nampak. Arca seperti ini merupakan media pemujaan dari masa megalitik yang berlanjut ke masa Hindu.     
Menurut E. Moh. Raharja, yang  menjabat sebagai pemandu Keraton Kanoman, (ditemui pada tgl 16 Oktober 08) batik Cirebon berasal dari kata jempana (jem-jem ing prana) yang mempunyai arti “setia di hati.” Kereta jempana tersebut mudah ditiru dan diinspirasikan dengan beragam motif dan variasi wadasan dan mega mendung yang mudah diambil sebagai motif batik, pada abad 15 (1428 M / 1350 Syaka) pada zaman keemasan Sunan Gunung Jati Cirebon.
Di samping kereta jempana, paksi naga liman juga sebagai dasar motif pada zaman keemasan Sunan Gunung Jati. Di dalam paksi naga liman termuat motif dasar motif paksi, motif naga, dan motif liman. Motif paksi artinya motif burung garuda melambangkan simbol budaya Islam, di samping sebagai kekuatan udara. Motif naga artinya motif ular naga (naga raja) merupakan simbol budaya Cina, di samping sebagai lambang kekuatan laut. Motif liman artinya motif gajah sebagai simbol budaya Hindu di samping lambang kekuatan darat. Jadi intinya, sumber utama motif batik Cirebon berasal dari jempana dan paksi naga liman.
Selain motif-motif yang telah disebutkan di atas, ada beberapa motif yang sangat khusus dipakai oleh para sultan dan keluarga pada acara-acara tertentu seperti upacara penobatan, pertemuan para raja-raj, upacara panjang jimat, grebeg agung, dan grebeg sawal. Motif-motif itu adalah;
  1. Beskap Ageng Sultan Kanoman
Beskap Ageng ini merupakan baju kebesaran sultan yang dipakai ketika upacara penobatan dan pertemuan raja-raja. Lancar dhodotan, dominasi warna hitam dan emas sebagai lambang keagungan, kemakmuran, lestari dan pengayoman, sementara motif batik yang dipakai adalah delimaan.
  1. Dhodot Sunan Ageng
Busana ritus yang dipakai oleh sultan dan pangeran patih ketika memimpin upacara ritual adat, contohnya memimpin upacara panjang jimat, grebeg agung sebagai penutup kepala menggunakan destar Mustaka Sunan dengan jubah warna kuning emas, pelambang keagungan, beskap putih, dan kain lancar motif kangkungan.
  1. Beskap Pangeran
Beskap ini dipakai oleh bangsawan Kesultanan Kanoman ketika mengikuti upacara adat yang dilaksanakan pada siang hari. Motif yang dipakai kain lancar yang digunakan lebih sering menggunakan naga semirang.
  1. Batik lain-lainnya, seperti batik pandan, batik kembang wijaya kusuma.
Gambar 25. Sanira, salah seorang penjual dan penghubung batik Trusmi dengan pihak keraton, yang merupakan gejala Trusmi.


[i] Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2002), hlm. 265.
[ii] Alih bahasa oleh Aman  N. Wahyu, 2007.
[iii] Generasi ke-10 yaitu Ki Thalhah, seorang mursyid terkemuka aliran Qadariyah wan Naqsabandiyah di Jawa Barat dan  murid Syekh Khatib Sambas, seorang Jawa yang tinggal di Mekah, dan pendiri aliran ini. Mursyid adalah seorang pemimpin yang mempunyai kekuasaan untuk menandakan bagi penganut baru tarekat (ajaran Sufi). Khatib Sambas adalah seorang sarjana Indonesia abad 19 yang terkenal di Mekah, yang lahir di Kalimantan. Ia diakui sebagai orang yang menggabungkan ajaran-ajaran Qadariyah dan Naqsabandiyah menjadi satu ajaran yaitu Qadariyah wan Naqsabandiyah. Aliran ini mungkin telah memiliki benteng yang kuat di Trusmi dan Astana. Lihat,  Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, hlm. 268-269. 
[iv] Ibid., hlm. 269-272.
[v] Pangeran Insan Kamil bertempat tinggal di jalan Pegajahan menikah dengan Ratu Mayawati. Pangeran Insan Kamil adalah seorang kaum ningrat Cirebon keturunan dari Keraton Kaprabonan. Beliau mempunyai murid tarekat yang berasal dari Desa Trusmi dan sekitarnya antara lain: Madmil, Kibol dan Kadmini. Para murid dan rekan-rekan lainnya membentuk suatu kegiatan bisnis bersama yaitu membuet batik. Motif-motif yang dibuat adalah motif batik keratonan sesuai dengan pesanan dari Pangeran Insan Kamil maupun istrinya, Ratu Mayawati. Selain motif keratonan mereka pun berkreasi menciptakan motif sendiri, karena mayoritas pembuat batik adalah para pengikut tarekat yang kebanyakan laki-laki, maka motif batik yang dibuat lebih bersifat maskulin/ kelaki-lakian (bersifat pria), dimana jarang terdapat unsur batik yang bermotif atau bergambar bunga. Dari nama murid atau tokoh pembuat batik di atas, Mang Kibol adalah paman dari Sanira  (wawancara dengan Yuniko).
[vi] Wawancara dengan Elang Sugiarto dan diperkuat kakaknya, Elang Muhammad Hilman, S. Arsiparis, pada tanggal 15 Agustus 2008.
[vii] Wawancara dengan H. Supriatna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar