Selasa, 03 Januari 2012

Ciri Batik Keraton Cirebon


Dalam penyajian penulisan, agar runtut dan memudahkan dalam pola pikir, penulis kategorikan pola hias dalam batik menjadi tiga kelompok, yaitu unsur-unsur batik, motif-motif batik, dan gabungan motif batik. Unsur-unsur batik  masing-masing, secara sendiri-sendiri, mempunyai karakter dan makna yang spesifik. Unsur-unsur batik yang variatif serta ditambah dengan ragam hias pokok atau ide pokok yang ingin ditampilkan oleh perupa, akan membentuk suatu motif batik pada satu bidang kain. Suatu motif batik yang merupakan himpunan dari unsur-unsur ragam hias serta ragam hias pokok  mempunyai karakter serta makna simbolik yang khusus, istimewa, bahkan mungkin tendensius.
Beberapa motif batik baik dua, tiga, atau lebih dihimpun oleh seniman batik, menjadi gabungan motif batik, yang tentunya mempunyai “pesan” yang sangat kompleks dan rumit, namun tetap nyaman secara estetika untuk dinikmati.
Menurut Yuniko, dahulu di daerah Cirebon, kesenian melukis, termasuk melukis di atas tekstil, dikerjakan hanya kaum pria. Tradisi ini dapat dilihat di pemukiman ahli kriya seperti di Trusmi dan dilanjutkan hingga jauh ke abad 20. Pada abad ke 19 hingga akhir, peranan wanita dalam bidang ini mulai berkembang karena perubahan dalam pola perekonomian di wilayah Cirebon. Tanah-tanah semasa penjajahan Belanda memerlukan banyak tenaga laki-laki. Lambat laun industri batik yang ada di Cirebon, yang kebanyakan masih merupakan karya di lingkungan rumah (home industry) diambil alih oleh wanita. Sebelumnya, kewajiban mereka semata-mata ditujukan kepada kerja detil, seperti mengisi latar belakang, akan tetapi dengan adanya migrasi lelaki untuk memenuhi kebutuhan kebun-kebun besar tuan tanah, wanita juga memulai mengerjakan penempelan lilin tekstil. Seniman lelaki tetap mengambil bagian dalam proses pembuatan batik, akan tetapi jumlah mereka semakin mengecil dan selama sepuluh tahun terakhir hanya beberapa saja yang tinggal. Kini wanitalah yang mendapatkan peranan lebih aktif dimulai dari merancang sampai ke membatik dan menjual hasil karyanya.[i]
Jenis dan ragam corak batik Cirebon sangat menarik perhatian dan berbeda dengan batik yang ada di Jawa Tengah khususnya Surakarta dan Yogyakarta, serta juga hasil karya bagian lain pantai utara Jawa. Jika dibandingkan dengan batik dari Keraton Jawa Tengah misalnya, maka batik Cirebon tampak berani, tidak menggunakan corak simetris di seluruh bahan, melainkan lebih sebagai suatu corak yang menggambarkan sesuatu yang nyata di atas bahan polos. Corak itu lebih mendekati kenyataan dan kurang distilisasikan dan berketentuan daripada corak Jawa Tengah. Ini mungkin disebabkan penggunaan asli beberapa corak, teristimewa yang melukiskan gambaran yang disembunyikan dalam desain lambang, bentuk binatang, tumbuh-tumbuhan yang mempunyai makna tertentu dalam cerita tradisional, pemandangan, pola geometrik, dan kaligrafi Arab. Dilukiskan di atas bahan teknik batik, bahan itu dipakai sebagai lukisan bersifat keagamaan (wafak), dipakai untuk menghias rumah, juga untuk menolak hal-hal jahat dan melindungi rumah beserta penghuninya (tolak bala). Sedangkan umbul-umbul dan panji-panji adalah bagian dari prosesi keagamaan di hari-hari yang kurang berkesan.
Hingga sekarang batik Cirebon termasyhur karena mempunyai pola dan corak istimewa yang tidak diketemukan dalam perbendaharaan batik di daerah penghasil batik lainnya di Indonesia.[ii] Peta perbatikan nusantara telah mencatat nama Cirebon sebagai salah satu sentra batik. Cirebon sebagai sebuah lokus yang memiliki karakteristik kebudayaan yang khas, hidup di antara dua budaya besar Sunda dan Jawa, didukung dengan pelabuhannya yang ramai disinggahi pedagang dunia (Sedyawati, 1995), menjadikan sebuah tatanan kebudayaan masyarakat yang khas dan unik. Kekhasan dan keunikan itu tampak pula pada ekspresi keseniannya, termasuk di dalamnya karya kriya batiknya. Kekhasan batik Cirebon itu tidak dapat dipisahkan dengan latar sosial budaya yang melingkupi pertumbuhan dan perkembangan batik  Cirebon. Perkembangan batik Cirebon merupakan salah satu titik penting dalam peta batik Indonesia pada umumnya.[iii]
Salah satu ciri lain batik Cirebon adalah bahwa batik itu dapat dibedakan karena warna-warna khusus yang dipakai sebagai dasar. Batik Cirebon dan sekitarnya mempunyai warna dasar kuning-gading atau kuning muda yang biasanya disebut putih Cirebon atau kuning Cirebon untuk membedakannya dari kuning tua (kuning oker) yang terdapat pada batik Banyumas, atau putih bersih pada batik Yogyakarta. Juga biasa dipakai warna coklat soga, warna batik tradisional. Tetapi sedikit sekali digunakan variasi warna-warna coklat tua yang biasa terdapat pada batik Jawa Tengah. Karena air lebih asin di Indramayu, warna-warna ini tidak bisa tercapai dan kekhasan batik Indramayu adalah warna biru tarum, nila muda, biru muslim dengan kombinasi biru hitam yang biasa terdapat pada keramik-keramik Timur Tengah dan juga pada porselen Cina; serta penggunaan merah bata, atau yang di daerah Cirebon disebut sebagai merah mengkudu, yang dibuat dari tangkai-tangkai pohon mengkudu. Ciri lain batik daerah ini adalah perasaan lega-luas yang diciptakan oleh corak tersebut yang tampaknya gemar memusatkan garis-garis besar suatu gambar, tanpa harus mengisi kekosongan-kekosongan seperti yang terdapat pada batik Yogyakarta dan Surakarta, yang biasanya semua tempat diisi isen, dengan berbagai macam motif. Isen yang terkenal dan mungkin yang tertua adalah bentuk yang disebut cecek atau titik. Kegemaran untuk mengisi kekosongan dengan isen juga dipakai di Indramayu, tetapi hanya dalam bentuk titik. Sedangkan akhir-akhir ini beberapa perusahaan batik di Cirebon yang biasanya menerima pesanan berdasarkan mode, menggunakan motif-motif isen dari Jawa Tengah dan dengan demikian meninggalkan ciri-ciri tradisional batik Cirebon. Ciri lain yang terdapat baik pada ukir-ukiran maupun batik adalah campuran warna. Warna-warna utama dibagi ke dalam beberapa nada warna, mulai dari warna yang sangat muda sampai ke warna yang tua, misalnya warna merah muda, lalu ke merah mawar sampai ke merah anggur.[iv]


[i] Ibid., hlm.139.
[ii] Ibid., hlm. 134.
[iii] Casta dan Taruna, Batik Cirebon: Sebuah Pengantar Apresiasi, Motif, dan Makna Simboliknya (Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008), hlm. 56.
[iv] Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon”, hlm. 141.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar