Selasa, 05 Februari 2013

Cirebon Kedatangan Bangsa Tionghoa


Pada abad ke-5 M, gelombang Budhisme datang dari Cina di bawah pemerintahan Dinasti Selatan melalui jalur laut, dibawa oleh para pendeta Budha ke nusantara. Faxian (Fa Hsien) adalah pendeta Cina yang beragama Budha di India yang melakukan pelayaran ke Srilangka dan terdampar di Jawa (Ye-po-ti, artinya  Yawadwi (pa), pulau Jawa dalam transkrip Sansekreta). Ia tinggal di Jawa sekitar 5 bulan, yaitu Desember 412 M sampai Mei 413 M sebelum kembali berlayar kembali ke Cina[1].
Keterangan yang memuat tentang hubungan antara Jawa dengan Cina juga terdapat pada Berita Tahunan Dinasti-dinasti Selatan (Songshu dan Liangshu), dan dalam Tangshu, Xin Tangshu, dan Songshi[2].  Teks-teks yang berurutan itu juga menyebut She –po untuk abad ke-5, demikian pula He-le-tan yang terletak di She-po, lalu He-ling menggantikan She–po pada tahun 640-818 M[3]. She-po muncul sekali lagi pada tahun 820 M dan bertahan hingga zaman Yuan, yang kemudian diganti dengan Zhao-waShongshi menyebutkan adanya utusan Cina pada tahun 993 M dan 1109 M. Pada tahun 1129 M, Sang Maharaja memberikan gelar raja kepada penguasa She-po, yang menandai adanya maksud politik tertentu dari pihak Kekaisaran Cina untuk daerah yang bersangkutan[4].

Cirebon merupakan kota tua yang memiliki peradaban maju. Hal tersebut, tercermin dari bukti peninggalan sejarah pendahulunya, yang kini menjadi kekayaan khasanah budaya bangsa. Salah satunya adalah yang tertuang dalam naskah-naskah kuno yang berisikan tentang berbagai aspek kehidupan, baik berisi tentang sejarah, pengobatan, perbintangan, perhitungan tanggal dalam Islam dan Jawa, dan naskah agama. Diantara naskah tersebut yang berisikan sejarah, yang akan digunakan sebagai rujukan utama dalam penulisan buku ini di antaranya adalah Naskah Pustaka Negarakretabhumi dan  Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN). Beberapa naskah lainnya digunakan sebagai penunjang, di antaranya Sedjarah Tjirebon, Naskah Mertasinga, Naskah  Sajarah Lampahing Para Wali Kabeh, dan Serat Catur Kanda. Naskah-naskah tersebut merupakan bukti sekunder yang ditemukan untuk membantu merekonstruksi sejarah yang pernah terjadi, karena menemukan naskah primer untuk penulisan sejarah yang terjadi sebelum abad ke-18 sangatlah sulit. Begitu juga untuk menggali sejarah dari bukti arkeologis dengan menggali situs kuno di Cirebon merupakan hal mustahil, karena situs-situs tersebut sangatlah dihormati oleh masyarakat Cirebon. Selain itu, digali pula ingatan kolektif masyarakat berupa penuturan lisan dari para sesepuh keraton dan masyarakat.

Cirebon berperan sebagai jalan lalu-lintas yang dapat dilayari perahu atau kapal ke arah pedalaman, disaksikan oleh Tome Pires pada tahun 1513 M. Mungkin sungai yang dimaksud sekarang adalah Sungai Krian (sekarang yang dapat dilayari sampai ke Cirebon Girang). Dari catatan Tome Pires dikatakan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang besar dan ramai, jauh lebih ramai dari pelabuhan Demak. Hal tersebut diukur berdasarkan  kemampuannya untuk dilayari jenis perahu Junk[5]. Pelabuhan Cirebon didukung adanya Sungai Bondet yang dapat dilayari oleh perahu Junk sejauh 9 mil[6]. Pada masa itu Junk yang dimiliki oleh para saudagar Cina sangat terkenal.[7]


[1] Kisah pengembaraan Faxian tercantum dalm Fo-guo-qi, sudah beberapa kali diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Legge bersama teks Cinanya dan oleh H. Giles (The Travel of Faxien 399-414 M) atau  Regard Budhist Kingdom, dicetak ulang di London pada tahun 1956. Kutipan mengenai masa tinggalnya di Jawa diterjemahkan dalam karya Groeneveldt, Historical Notes, dicetak ulang di Jakarta, tahun 1960M.
[2]    Bagian-bagian mengenai Pulau Jawa telah dikumpulkan oleh Groeneveldt, Historical Notes, dicetak ulang di Jakarta, tahun 1960 M hal 6-20.
[3]    Dalam sebuah artikel ilmiah yang berjudul “La transcription chinoise Ho-ling comme désignation de Java (BEFEO L II, cet. Lepas I, Paris, 1964, hal. 93-141), L.-Ch. Damais telah membuktikan bahwa yang dimaksud dengan He-ling bukanlah Kalingga melainkan Wailing, sebuah daerah lokal yang terbukti ada dalam epigrafi.
[4]    Denys Lombard, hal 12-13.
[5]    Panjang perahu Junk mencapai 100 kaki dan lebar 40 kaki,  ada juga yang panjangnya 30 m dengan lebar 8 meter.
[6]     Cortesao, 1967 :183,186.
[7]   Tjiptoatmojo, 1983 : 91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar