Senin, 28 Januari 2013

Perjalanan Syekh Syarif Hidayatullah


Setelah Syarif bertemu dengan pamannya, Pangeran Cakrabuana sangat senang dan menyampaikan keinginannya agar Syarif Hidayat berkenan menjadi raja. Namun Syarif Hidayat menolak karena ia  masih ingin berkelana. Syarif Hidayat pun pergi ke negeri Cina dan sebelumnya mampir ke Jamhur bertemu dengan Raja Lahut. Di Cina Syarif Hidayat menjumpai pengrajin tabsyi yang sudah masuk Islam, begitu pula dengan orang-orang daerah sekitar hingga beliau masuk ke negeri Tartar.
Islam sudah berkembang di daerah itu dan banyak penganutnya. Islam masuk ke Negeri Tartar sejak zaman sahabat Anas bin Malik. Meskipun Islam sudah tersebar di sana, Syarif Hidayatullah senantiasa berdakwah di daerah tersebut untuk mempertebal keimannya. Syarif Hidayatullah berada di negeri Tartar beberapa tahun lamanya, sambil memperluas keislamannya, mengajarkan syahadat, shalat, serta melakukan pengobatan. Pengobatan yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati yaitu dengan syahadat dan shalat. Di sana pun Syarif Hidayat sempat belajar membuat keramik.
Karena ketenaran Syarif Hidayatullah, Raja Cina memanggilnya untuk menguji Syarif Hidayat. Pada saat itulah Syarif Hidayat bertemu dengan Putri Ong Tin Nio yang kelak menyusulnya ke tanah Jawa dan menjadi istrinya.
Setelah dari negeri Cina, Syarif Hidayat ke tanah Jawa dengan terlebih dahulu menjemput Raja Lahut. Dengan membawa seratus orang prajurit mereka kembali ke tanah Jawa.
Setibanya di tanah Jawa, Syarif Hidayat disambut dengan gembira. Mereka berkumpul di Bale Jajar bersama Babu Dampul dan Ki Gusah. Kabar tentang kedatangan Syarif Hidayat terdengar oleh para pembesar di Cirebon diantaranya Ki Gedeng Kali Wulu, Ki Gedeng Kaliwedi, Ki Gedeng Bangulara, Ki Gedeng Bangayalu, Ki Gedeng Maja, Ki Gedeng Kalideres, Ki Gedeng Konda, Kyai Gedeng Gegesik, Ki Gedeng Waru, Gedeng Dawuhan, Ki Gedeng Cideng. Mereka kemudian menghadap pada Syarif Hidayat. Kemudian datang juga menghadap Gedeng Malaka, Gedeng Kalitengah, Gedeng Sembung (Kalisapu), mereka semua mengunjungi pakuwon, menyampaikan hormatnya kepada Syarif Hidayat/Syekh Maulana Kabir. Hadir pula para buyut diantaranya Ratu Junti, Ratu Gumulunggu, Ratu Jepura, serta Dipati Cengal. Semuanya berkumpul menyampaikan keinginan mereka untuk menobatkan Syekh Maulana menjadi raja di Carbon. Akan tetapi Syekh Maulana Kabir belum bersedia. Ia bermaksud menjemput ibundanya dulu di Mesir sehingga dapat menyaksikan penobatannya. Kemudian Syekh Maulana Akbar menyerahkan urusan rumah tangga pada Babu Dampul dan berangkat menjemput ibundanya di Bani Israil. Sesampainya di Mesir Syekh Maulana menyampaikan keinginannya agar ibundanya berkenan tinggal di Sembung bersamanya di wilayah dawil arham (suci, tercinta milik Allah Ta’ala).
Sementara di Gunung Jati kehadiran tamu yaitu Pangeran Panjunan. Pangeran Panjunan beserta rombongan dating beserta pengikut dan prajuritnya. Serdadu yang dibawahnya sangat menakutkan. Patih keling sangat terkejut  kemudian ia memeriksanya. Patih keling menyambut Pangeran Panjunan dan menyampaikan bahwa pemimpin mereka Syekh Maulana sedang pergi ke Bani Israil.Kemudian Pangeran Panjunan berpesan bahwa ia ingin bertemu dan ingin membicarakan tentang ilmu. Rombongan tamu itu pun pulang meninggalkan Gunung Sembung menuju Kebon Syarif, di Panjunan.
Syekh Maulana pulang dengan ibunya beserta raja Cempa tiba di gunung sembung. Tak lama kemudian datang dengan gaduhnya meniup terompet dan tambur dan tidak ketinggalan barisan prajuritnya. Syekh Maulana Jati kemudian menemuinya Pangeran Panjunan mereka diterima di Mande Patani.
Pangeran Panjunan pun sudah dipersilahkan duduk, duduk di tempat yang sesuai dengan kedudukannya. Pangeran Panjunan berkeinginan menjadi raja karena merasa datang terlebih dahulu ke Carbon dan merupakan keturunan raja Mesir yang lebih senior daripada Syekh Maulana. Sehingga ketika Syekh Maulana datang ia bermaksud mengadu ilmu guna menentukan siapa yang pantas menjadi raja.
Pengikut Pangeran Panjunan, bertanya pada Syekh Maulana maksud kedatangan ke Pulau Jawa, apakah ilmu yang dimiliki berani mengislamkan tanah Jawa, apakah ilmu yang dimiliki. Pangeran Panjunan merasa pantas menjadi raja karena sakti dan telah berguru pada Syekh Junaid.  Dengan rendah hati Syekh Maulana menjawab bahwa modal yang ia bawa hanya dua kalimat syahadat. Sebagai orang muda ia  Syekh Maulana hanya memberanikan diri dan meminta Pangeran Panjunan mengajarinya. Pangeran Panjunan mengatakan bahwa orang yang telah mencapai derajat makrifat untuk apa bersyahadat dan shalat. Dijawab oleh Syekh Maulana bahwa  seandainya seperti  itu, bagaimana kita memandang masalah. Adapun yang dipandang keadaan kawula gusti, ada ratu/ raja ada rakyat, bila mana hanya  sekedar berkonsentrasi pada tauhid, yang mana yang menjadi raja apabila menggunakan kesatuan/ menjadi satu. Siapa yang menjadi umat, siapa yang menjadi Tuhan.  Sungguh keadaan yang tidak ada ujungnya.
Syekh Syarif mengatakan bahwa gurunya adalah nyawa Rasulullah dan gurunya adalah Syekh Jumadil Kkabir, Wali Aretullah, Syekh Datuk Sidiq dari Pasai, Syekh Datuk Bahrul dan  ayahanda Sunan Ampel Denta yang menyuruhnya menetap di Gunung Amparan Jati.
Kemudian Pangeran Panjunan termenung. Syekh Maulana bertanya apakah tujuan membangun masjid di Panjunan bila diterlantarkan, apakah hanya sekedar untuk menunjukkan kekuasaan pada para pengikut saja, dan hanya untuk menunjukkan siapa yang dipanggil Pangeran dan  apakah Pangeran ingin menjadi raja tanpa pengikut, tanpa usaha.  Pangeran Panjunan merasa kalah berargumentasi. Ia mengakui bahwa Syekh Maulanalah yang benar dan mengatakanbahwa Syekh Maulanalah yang lebih pantas untuk menjadi raja. Sehingga akhirnya Pangeran Panjunan bersama  keluarga  ke Wringin Pitu, suatu daerah di kaki bukit Plangon/ Bukit Kera di Kabupaten Cirebon.
Syekh Maulana merupakan pribadi yang rendah hati, tidak sombong. Ia sopan dalam bertindak dan santun dalam berkata, memiliki kecerdasan berpikir dan spiritual, matang ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu agama. Syekh Maulana merupakan  perwira yang tangkas yang banyak memiliki pengikut yang mumpuni baik dari kalangan raja, pembesar, maupun panglima.
Syekh Maulana memiliki konsep yang visioner dan wawasan berpikir internasional, dengan telah dikunjunginya berbagai Negara ketika ia belajar dan berkelana. Hal tersebut jauh berbeda dengan Pangeran Carbon, sepupunya yang hanya menjadi penguasa dan panglima angkatan perang di wilayah Cirebon.
Syekh Maulana kemudian diangkat  menjadi raja. Ia  mengudang kepada  Sunan Kalijaga, Pangeran Drajat, Pangeran Makdum, Pangeran Luwung, Pangeran Sendang, Pangeran Tayuman, Pangeran Reken di Losari, Pangeran Pasalaka, Pangeran Magrib, Pangeran Gagak Lumayu, Pangeran Satang Lumari, Pangeran Kajaksan, Pangeran Plangon, Pangeran Karang Kendal, Pangeran Bramacari, Pangeran Welang, Pangeran Supekik, Pangeran Carbon Girang, Pangeran Wanacala, Pangeran Sucimana, dan Pangeran Kedung Soka.
Para pembesar berkumpul untuk melaksanakan penobatan Syekh Maulana menjadi Susuhunan di Pakungwati, disaksikan oleh ibundanya Nyi Mudaim serta Uwanya sunan Rangga, dan kakandanya Pangeran Jakerta, Raja Cempa. Pangeran Panjunan dan pengikutnya mendukung dengan cara membangun pagar-pagarnya, membuat pintu-pintu kerajaan, merancang pedaleman serta menyiadakan tukang batunya. Dari Majapahit datang Raden Sepat, yang mempunyai hubungan keluarga dengan Panjunan. Ki Gedeng Kagok Garenjeng, Pangeran Reken turut membantu Susuhunan. Tembok kota (kuta) Carbon sudah bertaut, lawang saketeng juga sudah didirikan.
Syekh Maulana diangkat oleh uwaknya pada tahun 1479 M menjadi Tumenggung di Nagari Carbon disaksikan oleh ibunya sebagai legitimasi genealogis dan hukum tak tertulis, bahwa ini memiliki waris sebagai penerus kerajaan di tanah Sunda. Ia bergelar dengan gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosulullah Shallollahu Alaihi Wassalam[1] dengan didukung oleh semua pembesar di pesisir Sunda.  Sementara itu Wali Sembilan yang hadir  menyambut gembira penobatan Susuhunan Jati. Para wali  memberi gelar Penetep Panatagama Rasul, menggantikan Syekh Nurjati. Gelar klalifah yang diberikan kepada Syek Maulana Jati/ Syekh Jati merupakan gelar dakwah melaui  kekuasaan dari jalur bapak. Dimana ia merupakan penerus pemimpin di luar jazirah Arab.
lihat juga di
http://cirebonmasalalu.blogspot.com/


[1]    Pangeran Suleman Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon, hal. 35.http://cirebonmasalalu.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar