Senin, 02 Januari 2012

Sejarah Kacirebonan


Di Keraton Kacirebonan Awal, Pangeran Aria Cerbon meninggal, Keraton Kacirebonan oleh Belanda ditiadakan, tidak ada penerus sebagai pimpinan Keraton Kacirebonan. Kemudian pada abad ke-18, Belanda yang semakin sewenang-wenang ikut campur dalam birokrasi di Keraton Cirebon, dan selanjutnya pembagian kekuasaan di Cirebon itu sampai tahun 1768 tidak mengalami perubahan. Pembagian yang dilakukan oleh VOC mengenai simbol kekuasaan, tanah-tanah sesuai ukuran luasnya, dan jumlah daerah dengan cacahnya sampai akhir abad ke-18 tetap menimbulkan perselisihan di kalangan penguasa-penguasa di Cirebon itu, dan banyak para Pangeran dan ulama yang keluar dari lingkungan keraton karena tidak suka dengan sikap Belanda.

x
Gambar  11. Pangeran Patih (duduk, keempat dari kiri) dan Famili Kasultanan Kanoman

Gambar 12. Sultan Kanoman(duduk di tengah) bersama Pengageng Sultan di Keraton Kanoman

            Pada masa Kasultanan Kanoman dipimpin Sultan Khaeruddin Awal, Belanda terang-terangan melibatkan diri dalam urusan pemerintahan, dan menyebarkan budaya-budaya yang dilarang dalam agama, seperti berdansa dan minum-minuman beralkohol. Mufti Kasultanan Kanoman, Kyai Muqoyyim (pendiri Pesantren Buntet) mengundurkan diri dan memilih keluar dari lingkungan keraton. Ia membentuk kekuatan dengan mendirikan podok-pondok di pedalaman sebagai sikap perlawanan terhadap Belanda.
            Setelah Sultan Khaeruddin wafat, putranya yang bernama Pangeran Raja Kanoman (Pangeran Mohammad Khaeruddin II), melihat keadaan keraton yang semakin kacau, dan bangsa Belanda semakin merajalela campur tangan dalam berbagai segi, baik menyangkut kasultanan maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, sehingga beliau memilih pergi meninggalkan keraton dan bergabung dengan guru ayahnya, Kyai Muqoyyim di Buntet. Pangeran Raja Kanoman tidak dinobatkan menjadi Sultan di Keraton Kanoman oleh Belanda karena Pangeran Raja Kanoman dianggap sangat berbahaya dan membangkang. Belanda memilih  menobatkan orang lain yang pro dengannya, walaupun bukan  pewaris kedudukan sultan. Semenjak itu rakyat Cirebon memberontak dan terjadi kericuhan-kericuhan, rakyat meminta agar kedudukan sultan diganti oleh Pangeran Raja Kanoman.
            Perlawanan tersebut ternyata tidak hanya terjadi di daerah Cirebon saja, melainkan meluas juga ke wilayah Kabupaten Karawang yang pada waktu itu beribukota di Kandanghaur, dan di Sumedang arah timur-laut. Sasaran utama dari gerakan perlawanan rakyat Cirebon ialah orang-orang Cina, karena mereka dianggap bekerjasama dengan Belanda dan secara langsung memeras rakyat, sehingga banyak orang Cina yang dibunuh, seperti di Palimanan, Lohbener, dan Dermayu.[i]
Gambar 13.   Keraton Kacirebonan

            S.H. Rose selaku Residen Cirebon pada waktu itu dengan tegas mengatakan, bahwa orang yang menyebarluaskan desas-desus sehingga rakyat membenci pemerintah Belanda ialah Pangeran Raja Kanoman beserta sebagian dari kaum agama (ulama) yang telah memihak Kanoman. Untuk mengembalikan keamanan di daerah Cirebon harus dilakukan penangkapan terhadap mereka yang dianggap oleh Belanda sebagai kaum rusuh.[ii]
            Pada waktu pembuangan Pangeran Raja Kanoman di Ambon, Belanda menganggap permasalahan sudah selesai, karena salah satu tokoh utamanya tidak ada lagi. Tetapi tindakan tersebut malah membuat rakyat semakin berontak, perlawanan semakin besar. Dalam pemberontakan tersebut para ulama mendesak dan menginginkan agar Pangeran Raja Kanoman dipulangkan dari tempat pembuangannya, serta menuntut supaya Pangeran Raja Kanoman diangkat sebagai Sultan Cirebon. Perlawanan tersebut dinamakan Perang Santri yang terjadi pada tahun 1802-1806 M.
            Akhirnya Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 M ke Cirebon. Setibanya di Cirebon, Pangeran tersebut tidak pulang ke keraton, tetapi singgah di Gua Sunyaragi. Pada tanggal 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II sebagai Sultan Kacirebonan. Selama menjadi Sultan, Pangeran Raja Kanoman tidak mempunyai istana (keraton), karena menurut Belanda ia adalah pemberontak. Sultan Kacirebonan menjadikan tempat di dekat Gua Sunyaragi sebagai pusat kekuasaanya. Selama Sultan Kacirebonan memerintah, ia tidak banyak berhubungan dengan pihak Belanda, dan bahkan selama hidupnya tidak menerima bantuan apapun dari Belanda.[iii]
            Sementara itu, setelah gerakan perlawanan tidak berdaya lagi menghadapi kekuatan militer kolonial, maka sebagai akibat dari konsolidasi kekuasaan Belanda di bidang politik, nampaklah bahwa posisi dan peranan pemimpin pribumi yang diangkat Belanda hanya digunakan sebagai alat saja, sehingga antara mereka dengan rakyat terdapat jurang pemisah yang semakin lebar. Tahun 1809 merupakan titik puncak runtuhnya peranan kepemimpinan sultan-sultan di Cirebon, karena daerah Cirebon sejak tahun itu dijadikan hak milik pemerintah kolonial Belanda. Sultan-sultan diangkat sebagai pegawai negeri dengan mendapatkan gaji.          
Pada tahun 1814, Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II wafat. Untuk melanjutkan peranan beliau kepada keturunannya, istri sultan meminta hak-hak kerja Sultan Kacirebonan selama hidupnya. Berkat kecerdasan istrinya, dengan uang gaji itu ia membangun Keraton Kacirebonan yang diteruskan oleh keturunannya yang bergelar Madenda.[iv]
Gambar 14.  Sultan Raja Madenda IV
(1931-1950)
Sultan Kacirebonan V
Gambar 15.  Sultan Moch. Mulyana Amir Natadiningrat
(1968-1997)
Sultan Kacirebonan VIII


Gambar 16. Sultan Abdul Gani Natadiningrat
(1997 s/d sekarang)
Sultan Kacirebonan IX
Gambar 17.   Jumenengan Sultan Raja Muhammad Zulkarnaen di Gedung Karesidenan Cirebon (1873)


Gambar 18.   Jumenengan Sultan Raja Muhammad Nurbuat di Gedung Karesidenan Cirebon (1938)


[i] Rosad Amidjaja, dkk., Pola Kehidupan Santri Pesantren Buntet Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (JAVANOLOGI), 1985), hlm. 26.
[ii] Ibid,.
[iii] Ahmad Zaeni Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan, Kyai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara (Jakarta: Elsas, 2000), hlm. 28. lihat juga pada Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
[iv] Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar