Selasa, 03 Januari 2012

Awal Mula Kerajaan Cirebon

            Di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura, dan ternyata Raden Pamanah Rasalah yang memenangkan sayembara tersebut, sehingga ia menikahi sang putri yang bernama Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini dilahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang keluar dan meninggalkan lingkungan keraton, disusul kemudian oleh adiknya Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih, yang memilki seseorang putri yang bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi putri pendeta itu, kemudian mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurul Jati yang berasal dari Mekah. Setelah mereka berguru beberapa tahun lamanya, dan dianggap selesai dalam pelajaran dasar agama Islam, Raden Walangsungsang dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir. Pada waktu itu disebut juga Tegal Alang-alang, tepatnya berlokasi di Lemahwungkuk. Raden Walangsungsang oleh gurunya diberi nama Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti namanya menjadi Haji Abdullah Iman.[i]
            Raden Walangsungsang berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya berbagai etnik bercampur, agama juga bercampur. Raden Walangsungsang kemudian dipilih oleh masyarakat sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang mengurus pertanian dan perikanan, sehingga ia diberi gelar Ki Cakrabumi dan Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu”.
            Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang (di Tanah Suci berganti nama menjadi Syarifah Mudaim), karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di Tanah Suci ini, Nyai Lara Santang dipersunting oleh Maulana Sultan Muhammad keturunan Bani Hasyim, dan mempunyai keturunan bernama Syarif Hidayatullah dan Nurullah.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
            Setelah pernikahan adiknya, Raden Walangsungsang memutuskan kembali ke Jawa untuk bersyiar dan mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan Masjid Jalagrahan dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal, Raden Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Caruban II dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
            Pakuwuan Caruban kemudian menjadi Nagari Caruban Larang, selanjutnya Pangeran Cakrabuana mendapat gelar sebagai Sri Mangana yang diberikan dari ayahnya, Prabu Siliwangi.[ii] Menurut oral history, Pangeran Cakrabuana membuat umbul-umbul pertama di Cirebon, berdasarkan ilham dari bendera Majapahit, yaitu “gula kelapa”, bendera merah putih yang menjadi bendera Kerajaan Demak Bintoro, umbul-umbul ini masih terdapat di pedaleman Keraton Kasepuhan, yang kondisinya sudah rapuh. Umbul-umbul ini berwarna hijau, berisikan dua kalimat syahadat dan umbul-umbul ini juga merupakan kebesaran yang pertama dibuat di Cirebon, yang mencerminkan kebangsaan dari Cirebon. Pangeran Cakrabuana juga membuat dan membatik bendera Cirebon, yang di dalamnya terdapat ragam hias tiga Sing Barwang, Golok Cabang, bacaan Basmalah, al-Quran Surat al-Ikhlas dan al-Anam ayat 103 Seta Bintang. Menurut Negara Kretabhumi, bendera ini kemudian diberikan ke Mangkunegaran.
            Sementara itu, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabuana yang dibesarkan di negara ayahnya dan berusia dua puluh tahun, pergi berguru kepada ulama di Mekah dan Baghdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama uwaknya.  Posisi tersebut diganti oleh adiknya, Nurullah.
            Sebelum tiba di Jawa, Syarif Hidayatullah singgah dulu di beberapa tempat selama beberapa waktu, kemudian setelah sampai di Jawa beliau bertemu dengan Sunan Ampel dan ikut ke Jawa Timur untuk memperdalam syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya, Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di tanah Sunda dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Setibanya di Caruban, ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia, kemudian ia digelari Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati.[iii]
            Syekh Jati menikah dengan Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan, tetapi tidak lama kemudian istrinya meninggal dunia karena sakit. Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan putri Pangeran Cakrabuana, Dewi Pakungwati, yang masih sepupu sendiri. Syekh Jati kemudian mengembangkan Islam di Banten dan bertemu dengan Bupati Kawunganten (keturunan Pajajaran). Beliau sangat tertarik pada hal-hal yang diajarkan oleh Syek Jati itu, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari pernikahan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah seorang putra yang bernama Pangeran Sabakingking yang dikenal dengan nama Maulana Hasanuddin yang kelak meneruskan perjalanan ayahnya (Syekh Jati) di Banten. Sementara itu, Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati untuk kembali ke Caruban untuk menggantikan kedudukannya dan dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala Nagari Caruban dengan diberi gelar Susuhunan Jati, yang kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1479 M inilah, Caruban Larang mulai dikembangkan sebagai pusat sebuah kasultanan di Cirebon atau kerajaan Islam di daerah Sunda Pesisir, dan Keraton Pakungwati dijadikan pusat pemerintahannya.[iv]
            Pada tahun 1481, Susuhunan Jati menikah dengan Ong Tien seorang putri Cina. Tidak lama kemudian, pada tahun 1485 istrinya meninggal dunia, dan setelah itu beliau menetap di kedaton Pakungwati.[v]


[i] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah (Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986), hlm. 32. lihat juga Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (Bandung: Alqaprint, 2000), hlm. 29. 
[ii] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 30.
[iii] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 36.
[iv] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 32.
[v] Kompleks kedaton itu dewasa ini tinggal puing-puingnya saja, yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan sekarang. Kedaton Pakungwati itu dikelilingi oleh kuta, terletak di sebelah utara kali (sungai) Krian, dahulu namanya sungai Suba. Kuta itu dinamai Sang Asu, sedangkan dalem agung disebut Siru’llah. Lihat naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar