Selasa, 03 Januari 2012

Catatan Akhir Bab I


[1] Purwaka Caruban Nagari, pupuh 193.
[1] Daftar nama kecamatan di Kota sesuai dengan peraturan pemerintah No. 35 tahun1986 tanggal 21 Agustus 1986. Selayang Pandang Kotamadya Cirebon 1994, hlm. 7
[1] H. Rokhmin Dahuri, Dkk., Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon ( Jakarta: Percetakan Negara RI, 2004), hlm. 23.
[1] Ibid., hlm. 14. Bahkan, pada masa pemerintahan Belanda, kawasan Cirebon pernah menjadi pusat penanaman tebu terbesar keempat di Jawa, lihat William J. O’ Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anna Booth, Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 242.
[1] Eddy Sunarto, dkk., Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya (Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat, 2007), hlm. 264.
[1] Ibid., hlm. 271.
[1] Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 74.
[1] Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
[1] Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata “glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
[1] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah (Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986), hlm. 32. lihat juga Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (Bandung: Alqaprint, 2000), hlm. 29. 
[1] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 30.
[1] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 36.
[1] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 32.
[1] Kompleks kedaton itu dewasa ini tinggal puing-puingnya saja, yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan sekarang. Kedaton Pakungwati itu dikelilingi oleh kuta, terletak di sebelah utara kali (sungai) Krian, dahulu namanya sungai Suba. Kuta itu dinamai Sang Asu, sedangkan dalem agung disebut Siru’llah. Lihat naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
[1] Masjid Agung Sang Ciptarasa ini memiliki nuansa rasa cipta yang mengental. Nuansa yang berasal dari kedalaman rasa yang hakiki, seperti mengentalnya rasa kawula dengan Gusti (manunggaling kawula Gusti). Menyatunya rasa kawula-Gusti, berarti bahwa Sang Pencipta sajalah yang memiliki segala rasa, sementara sang mahluk hanyalah memiliki keikhlasan dan keridhoan dalam segala ketawakalannya. Oleh karena itu, Masjid Agung Sang Ciptarasa menjadi perhatian muslim dunia, yang sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya. Lihat T.D. Sudjana, Masjid Agung Sang Ciptarasa dan Muatan Mistiknya (Bandung: Humaniora Utama Press, 2003), hlm. 2 
[1] Seperti atap pada Masjid Demak, Masjid Cirebon pun atap tengahnya ditopang oleh empat tiang kayu raksasa. Hanya tiga buah yang utuh, salah satu di antara tiang itu disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
[1] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 37.
[1] Ibid., hlm. 40.
[1] Putri Pangeran Gunung Panti Cucu Panembahan Losari.
[1] P. Hempi Raja Kaprabonan, Sejarah Keraton Kaprabonan, hlm. 3-6.
[1] Ibid., hlm. 12.
[1] Rosad Amidjaja, dkk., Pola Kehidupan Santri Pesantren Buntet Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (JAVANOLOGI), 1985), hlm. 26.
[1] Ibid,.
[1] Ahmad Zaeni Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan, Kyai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara (Jakarta: Elsas, 2000), hlm. 28. lihat juga pada Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
[1] Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan). 
[1] Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2002), hlm. 265.
[1] Alih bahasa oleh Aman  N. Wahyu, 2007.
[1] Generasi ke-10 yaitu Ki Thalhah, seorang mursyid terkemuka aliran Qadariyah wan Naqsabandiyah di Jawa Barat dan  murid Syekh Khatib Sambas, seorang Jawa yang tinggal di Mekah, dan pendiri aliran ini. Mursyid adalah seorang pemimpin yang mempunyai kekuasaan untuk menandakan bagi penganut baru tarekat (ajaran Sufi). Khatib Sambas adalah seorang sarjana Indonesia abad 19 yang terkenal di Mekah, yang lahir di Kalimantan. Ia diakui sebagai orang yang menggabungkan ajaran-ajaran Qadariyah dan Naqsabandiyah menjadi satu ajaran yaitu Qadariyah wan Naqsabandiyah. Aliran ini mungkin telah memiliki benteng yang kuat di Trusmi dan Astana. Lihat,  Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, hlm. 268-269. 
[1] Ibid., hlm. 269-272.
[1] Pangeran Insan Kamil bertempat tinggal di jalan Pegajahan menikah dengan Ratu Mayawati. Pangeran Insan Kamil adalah seorang kaum ningrat Cirebon keturunan dari Keraton Kaprabonan. Beliau mempunyai murid tarekat yang berasal dari Desa Trusmi dan sekitarnya antara lain: Madmil, Kibol dan Kadmini. Para murid dan rekan-rekan lainnya membentuk suatu kegiatan bisnis bersama yaitu membuet batik. Motif-motif yang dibuat adalah motif batik keratonan sesuai dengan pesanan dari Pangeran Insan Kamil maupun istrinya, Ratu Mayawati. Selain motif keratonan mereka pun berkreasi menciptakan motif sendiri, karena mayoritas pembuat batik adalah para pengikut tarekat yang kebanyakan laki-laki, maka motif batik yang dibuat lebih bersifat maskulin/ kelaki-lakian (bersifat pria), dimana jarang terdapat unsur batik yang bermotif atau bergambar bunga. Dari nama murid atau tokoh pembuat batik di atas, Mang Kibol adalah paman dari Sanira  (wawancara dengan Yuniko).
[1] Wawancara dengan Elang Sugiarto dan diperkuat kakaknya, Elang Muhammad Hilman, S. Arsiparis, pada tanggal 15 Agustus 2008.
[1] Wawancara dengan H. Supriatna.
[1] Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon” (t.t.p: LIPI, tt), hlm. 129.
[1] Ibid., hlm.139.
[1] Ibid., hlm. 134.
[1] Casta dan Taruna, Batik Cirebon: Sebuah Pengantar Apresiasi, Motif, dan Makna Simboliknya (Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008), hlm. 56.
[1] Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon”, hlm. 141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar