Selasa, 03 Januari 2012

Awal Mula Kerajaan Cirebon


            Di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura, dan ternyata Raden Pamanah Rasalah yang memenangkan sayembara tersebut, sehingga ia menikahi sang putri yang bernama Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini dilahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang keluar dan meninggalkan lingkungan keraton, disusul kemudian oleh adiknya Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih, yang memilki seseorang putri yang bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi putri pendeta itu, kemudian mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurul Jati yang berasal dari Mekah. Setelah mereka berguru beberapa tahun lamanya, dan dianggap selesai dalam pelajaran dasar agama Islam, Raden Walangsungsang dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir. Pada waktu itu disebut juga Tegal Alang-alang, tepatnya berlokasi di Lemahwungkuk. Raden Walangsungsang oleh gurunya diberi nama Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti namanya menjadi Haji Abdullah Iman.[i]
            Raden Walangsungsang berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya berbagai etnik bercampur, agama juga bercampur. Raden Walangsungsang kemudian dipilih oleh masyarakat sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang mengurus pertanian dan perikanan, sehingga ia diberi gelar Ki Cakrabumi dan Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu”.
            Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang (di Tanah Suci berganti nama menjadi Syarifah Mudaim), karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di Tanah Suci ini, Nyai Lara Santang dipersunting oleh Maulana Sultan Muhammad keturunan Bani Hasyim, dan mempunyai keturunan bernama Syarif Hidayatullah dan Nurullah.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
            Setelah pernikahan adiknya, Raden Walangsungsang memutuskan kembali ke Jawa untuk bersyiar dan mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan Masjid Jalagrahan dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal, Raden Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Caruban II dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
            Pakuwuan Caruban kemudian menjadi Nagari Caruban Larang, selanjutnya Pangeran Cakrabuana mendapat gelar sebagai Sri Mangana yang diberikan dari ayahnya, Prabu Siliwangi.[ii] Menurut oral history, Pangeran Cakrabuana membuat umbul-umbul pertama di Cirebon, berdasarkan ilham dari bendera Majapahit, yaitu “gula kelapa”, bendera merah putih yang menjadi bendera Kerajaan Demak Bintoro, umbul-umbul ini masih terdapat di pedaleman Keraton Kasepuhan, yang kondisinya sudah rapuh. Umbul-umbul ini berwarna hijau, berisikan dua kalimat syahadat dan umbul-umbul ini juga merupakan kebesaran yang pertama dibuat di Cirebon, yang mencerminkan kebangsaan dari Cirebon. Pangeran Cakrabuana juga membuat dan membatik bendera Cirebon, yang di dalamnya terdapat ragam hias tiga Sing Barwang, Golok Cabang, bacaan Basmalah, al-Quran Surat al-Ikhlas dan al-Anam ayat 103 Seta Bintang. Menurut Negara Kretabhumi, bendera ini kemudian diberikan ke Mangkunegaran.
            Sementara itu, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabuana yang dibesarkan di negara ayahnya dan berusia dua puluh tahun, pergi berguru kepada ulama di Mekah dan Baghdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama uwaknya.  Posisi tersebut diganti oleh adiknya, Nurullah.
            Sebelum tiba di Jawa, Syarif Hidayatullah singgah dulu di beberapa tempat selama beberapa waktu, kemudian setelah sampai di Jawa beliau bertemu dengan Sunan Ampel dan ikut ke Jawa Timur untuk memperdalam syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya, Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di tanah Sunda dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Setibanya di Caruban, ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia, kemudian ia digelari Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati.[iii]
            Syekh Jati menikah dengan Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan, tetapi tidak lama kemudian istrinya meninggal dunia karena sakit. Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan putri Pangeran Cakrabuana, Dewi Pakungwati, yang masih sepupu sendiri. Syekh Jati kemudian mengembangkan Islam di Banten dan bertemu dengan Bupati Kawunganten (keturunan Pajajaran). Beliau sangat tertarik pada hal-hal yang diajarkan oleh Syek Jati itu, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari pernikahan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah seorang putra yang bernama Pangeran Sabakingking yang dikenal dengan nama Maulana Hasanuddin yang kelak meneruskan perjalanan ayahnya (Syekh Jati) di Banten. Sementara itu, Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati untuk kembali ke Caruban untuk menggantikan kedudukannya dan dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala Nagari Caruban dengan diberi gelar Susuhunan Jati, yang kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1479 M inilah, Caruban Larang mulai dikembangkan sebagai pusat sebuah kasultanan di Cirebon atau kerajaan Islam di daerah Sunda Pesisir, dan Keraton Pakungwati dijadikan pusat pemerintahannya.[iv]
            Pada tahun 1481, Susuhunan Jati menikah dengan Ong Tien seorang putri Cina. Tidak lama kemudian, pada tahun 1485 istrinya meninggal dunia, dan setelah itu beliau menetap di kedaton Pakungwati.[v]
Gambar 1. Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan

Masjid Agung Cirebon, yang sekarang terletak di sebelah utara alun-alun Kasepuhan, bernama Ciptarasa, merupakan hasil kerja orang Demak dan Cirebon. Konon pekerjanya berjumlah 500 orang dipimpin oleh Raden Sepet atau Raden Sepat, yang sebagaimana juga pembangunan masjid Demak, di bawah pengawasan para wali yang diketuai oleh Sunan Kalijaga.[vi]
            Menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, tahun pembangunannya memakai Candra Sangkala, yang berbunyi: mungal (1) mangil (1) mungup (4) duwe ning asu (1), yaitu tahun 1141 Saka/ 1489 M.[vii]
            Setelah Sunan Ampel wafat, pusat pensyiaran para Wali Sembilan bersumber di Cirebon. Menurut tradisi, Sunan Gunung Jati diangkat menjadi wadana para wali dan Cirebon disebut puser bumi, sebagai pusat penyiaran agama Islam untuk wilayah sebelah barat.
Pada tahun 1568, Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) wafat. ia digantikan oleh cucunya, Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan, seperti yang dijalankan oleh kakeknya (Sunan Gunung Jati). Sultan lebih banyak bertindak sebagai ulama daripada umaro. Bidang agama lebih dipentingkan daripada persoalan politik dan ekonomi. Kedudukannya selaku ulama, merupakan salah satu alasan yang menyebabkan Sultan Mataram segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. VOC mencoba mendekati Panembahan Ratu, tetapi tidak berhasil, tetapi Mataram malah mempererat hubungan dengan Cirebon dengan perkawinan politis antara putra Panembahan Ratu dengan putri Kerajaan Mataram. Perkawinan politis juga dilakukan oleh cucu ke dua belah pihak, yaitu antara Panembahan Girilaya dengan putri Sunan Amangkurat I (cucu Sultan Agung).
            Ketika Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649, dalam usia yang sangat tua, yaitu 102 tahun, ia digantikan oleh cucunya, Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II, karena anaknya, Pangeran Seda ing Gayam telah wafat lebih dahulu. Dari pernikahannya dengan putri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memilki tiga orang anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sementara itu, Sunan Amangkurat I, anak Sultan Agung, berbeda sikap terhadap Kerajaan Cirebon. Semasa Panembahan Ratu I masih hidup, Cirebon sangat disegani dan masih dihormatinya, meskipun pada akhirnya Amangkurat I berubah pikiran. Sikapnya yang berubah itu semakin jelas, ketika Panembahan Girilaya dengan kedua putranya, Martawijaya dan Kertawijaya, diharuskan tinggal di Mataram. Bahkan akhirnya, Panembahan Girilaya meninggal di Mataram pada tahun 1667.[viii] Pada masa inilah Kerajaan Cirebon mulai mengalami perpecahan di antara sesama saudara karena memperebutkan kedudukan, yang juga sebagai imbas dari permainan politik Kerajaan Mataram, Banten, dan VOC.
            Setelah Panembahan Girilaya wafat, Kasultanan Cirebon terbagi tiga yaitu: pertama, Kasultanan Kasepuhan, yang dirajai oleh Pangeran Martawijaya dengan gelar Sultan Raja Syamsuddin dan dikenal juga sebagai Sultan Sepuh I. Kedua, Kasultanan Kanoman, yang dirajai oleh Pangeran Kertawijaya dengan gelar Sultan Muhammad Badriddin yang dikenal juga sebagai Sultan Anom I, dan yang ketiga, Panembahan Cerbon yang dikepalai oleh Pangeran Wangsakerta atau dikenal dengan Panembahan Cirebon I.
D:\FILE LALA\katura\litetatur\DSCF1430.JPG
Gambar  2.   Keraton Kasepuhan
Gambar  3.  Keraton Kanoman


Sultan Sepuh I memiliki dua putra, yaitu Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Aria Cerbon. Ketika Sultan Sepuh I meninggal dunia pada tahun 1697, Kasultanan Kasepuhan dibagi menjadi dua yaitu Kasepuhan dengan sultannya Pangeran Dipati Anom dan Kacirebonan dengan dipimpin Pangeran Aria Cerbon. Pembagian ini terjadi akibat kedua putra Sultan Sepuh I sama-sama ingin mendapatkan jabatan menjadi sultan di Kasepuhan. Sejak tahun 1699 di Cirebon terdapat empat keraton, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Panembahan.[ix]
            Sultan Anom I mempunyai tiga istri. Istri yang pertama (permaisuri) tidak mempunyai keturunan, sedangkan istri yang kedua, Ratu Sultan Panengah mempunyai keturunan yang pertama bernama Pangeran Raja Adipati Kaprabon[x] dan kedua Ratu Raja Kencana. Istri yang ketiga, Nyai Mas Ibu mempunyai putra yang bernama Pangeran Manduraredja.
Gambar 4. Bangsal luar Keraton Kaprabonan

            Pangeran Raja Adipati Kaprabonan (putra pertama Raja Kanoman dari istri kedua) setelah ibundanya wafat, oleh ayahnya diangkat dengan diberi gelar Sultan Pandita Agama Islam, dan diserahi busana pakaian perang kerajaan wali yang dinamakan Kaprabon. Pangeran Raja Adipati, diserahi juga warisan ajaran agama dan ilmu untuk disebarkan kepada seluruh umat khususnya di Cirebon. Kemudian ia ditugaskan untuk bertahta di suatu tempat bekas kediaman Ki Gedeng Pengalang-alang dan Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang), yang terletak di lingkungan Lemahwungkuk, sebelah timur alun-alun Keraton Kanoman. Kemudian tempat kediaman Pangeran Raja Adipati ini menjadi terkenal oleh masyarakat sekitar, sehingga tersebar luas dan masyarakat menyebutnya  Kaprabonan, sampai sekarang. Pangeran Raja Adipati Kaprabon merasa senang dan cocok di tempat tersebut, lalu ia membangun rumah dan masjid (mesigit/ tajug), dan kemudian menjadi tempat tinggal Pangeran Raja Adipati Kaprabon.
            Setelah Sultan Anom I wafat, hak waris pengganti kekuasaannya jatuh pada Pangeran Raja Adipati Kaprabon, tetapi karena Pangeran tersebut hatinya sedang antusias belajar ilmu agama, maka pengangkatan sultan ini diwakilkan untuk sementara waktu kepada adiknya dari istri Sultan Anom I yang ketiga, Pangeran Manduraredja. Pada waktu Sultan Anom I wafat, Pangeran Raja Adipati Kaprabon berada di Keraton Kaprabonan sehingga pemerintahan Keraton Kanoman dipegang oleh Nyi Mas Ibu (istri ketiga, Sultan Anom I) yang banyak pendekatannya dengan pemerintah Belanda, sehingga Pangeran Manduraredja lebih diakui dengan gelar Sultan Carbon Qodirudin di Keraton Kanoman, sedangkan Pangeran Raja Adipati Kaprabon sendiri menjadi tertutup hak warisnya atas kesultanan di Keraton Kanoman.
                              
                             Gambar 5.                                                    Gambar 6.
             Pangeran Angkawijaya Kaprabon          Pangeran Aruman Raja Kaprabon
                           (1918-1946)                                                 (1946-1974)
                  Sultan Kaprabonan VII                              Sultan Kaprabonan VIII

                             
                                   Gambar 7.                                              Gambar 8.
               Pangeran Herman Raja Kaprabon          Pangeran Hempi Raja Kaprabon
                                 (1974-2001)                                      (2001 s/d sekarang)
                        Sultan Kaprabonan IX                             Sultan Kaprabonan X

            Dari riwayat ini lah Pangeran Raja Adipati Kaprabon menjadi Sultan pertama di Keraton Kaprabonan, yang mempunyai misi mengembangkan ajaran agama Islam seperti perjuangan para waliyullah terdahulu terutama karuhunnya, Sunan Gunung Jati. Di Keraton Kaprabonan, Pangeran Raja Adipati Kaprabon mengajarkan ilmu-ilmu agama dan kebathinan kepada murid-muridnya, dan beberapa tahun kemudian banyak orang yang berdatangan baik dari pribumi maupun luar daerah untuk belajar agama dan menjadi murid di Keraton Kaprabonan.
            Setelah Pangeran Raja Adipati Kaprabon wafat pada tahun ± 1734 M, kemudian kedudukannya dan ajaran agamanya secara turun-temurun diteruskan oleh putra-putranya sampai sekarang.[xi]
            Keraton Kaprabonan mempunyai lambang pusaka yaitu Dalung Damar Wayang, yang berbentuk “manuk beri” yang merupakan lambang dari Nur Muhammad “bibiting roh” induk dari ruh-ruh makhluk yang diciptakan Allah SWT.[xii]
Gambar 9. Lambang Keraton Kaprabonan “Dalung Damar Wayang”

           
Gambar 10. Pangeran Raja Kaprabon (Sultan Kaprabonan VIII), anggota konstituante RI berserta garwa (istri) dengan memakai kain batik khas Kaprabonan
           
Di Keraton Kacirebonan Awal, Pangeran Aria Cerbon meninggal, Keraton Kacirebonan oleh Belanda ditiadakan, tidak ada penerus sebagai pimpinan Keraton Kacirebonan. Kemudian pada abad ke-18, Belanda yang semakin sewenang-wenang ikut campur dalam birokrasi di Keraton Cirebon, dan selanjutnya pembagian kekuasaan di Cirebon itu sampai tahun 1768 tidak mengalami perubahan. Pembagian yang dilakukan oleh VOC mengenai simbol kekuasaan, tanah-tanah sesuai ukuran luasnya, dan jumlah daerah dengan cacahnya sampai akhir abad ke-18 tetap menimbulkan perselisihan di kalangan penguasa-penguasa di Cirebon itu, dan banyak para Pangeran dan ulama yang keluar dari lingkungan keraton karena tidak suka dengan sikap Belanda.

x
Gambar  11. Pangeran Patih (duduk, keempat dari kiri) dan Famili Kasultanan Kanoman

Gambar 12. Sultan Kanoman(duduk di tengah) bersama Pengageng Sultan di Keraton Kanoman

            Pada masa Kasultanan Kanoman dipimpin Sultan Khaeruddin Awal, Belanda terang-terangan melibatkan diri dalam urusan pemerintahan, dan menyebarkan budaya-budaya yang dilarang dalam agama, seperti berdansa dan minum-minuman beralkohol. Mufti Kasultanan Kanoman, Kyai Muqoyyim (pendiri Pesantren Buntet) mengundurkan diri dan memilih keluar dari lingkungan keraton. Ia membentuk kekuatan dengan mendirikan podok-pondok di pedalaman sebagai sikap perlawanan terhadap Belanda.
            Setelah Sultan Khaeruddin wafat, putranya yang bernama Pangeran Raja Kanoman (Pangeran Mohammad Khaeruddin II), melihat keadaan keraton yang semakin kacau, dan bangsa Belanda semakin merajalela campur tangan dalam berbagai segi, baik menyangkut kasultanan maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, sehingga beliau memilih pergi meninggalkan keraton dan bergabung dengan guru ayahnya, Kyai Muqoyyim di Buntet. Pangeran Raja Kanoman tidak dinobatkan menjadi Sultan di Keraton Kanoman oleh Belanda karena Pangeran Raja Kanoman dianggap sangat berbahaya dan membangkang. Belanda memilih  menobatkan orang lain yang pro dengannya, walaupun bukan  pewaris kedudukan sultan. Semenjak itu rakyat Cirebon memberontak dan terjadi kericuhan-kericuhan, rakyat meminta agar kedudukan sultan diganti oleh Pangeran Raja Kanoman.
            Perlawanan tersebut ternyata tidak hanya terjadi di daerah Cirebon saja, melainkan meluas juga ke wilayah Kabupaten Karawang yang pada waktu itu beribukota di Kandanghaur, dan di Sumedang arah timur-laut. Sasaran utama dari gerakan perlawanan rakyat Cirebon ialah orang-orang Cina, karena mereka dianggap bekerjasama dengan Belanda dan secara langsung memeras rakyat, sehingga banyak orang Cina yang dibunuh, seperti di Palimanan, Lohbener, dan Dermayu.[xiii]
Gambar 13.   Keraton Kacirebonan

            S.H. Rose selaku Residen Cirebon pada waktu itu dengan tegas mengatakan, bahwa orang yang menyebarluaskan desas-desus sehingga rakyat membenci pemerintah Belanda ialah Pangeran Raja Kanoman beserta sebagian dari kaum agama (ulama) yang telah memihak Kanoman. Untuk mengembalikan keamanan di daerah Cirebon harus dilakukan penangkapan terhadap mereka yang dianggap oleh Belanda sebagai kaum rusuh.[xiv]
            Pada waktu pembuangan Pangeran Raja Kanoman di Ambon, Belanda menganggap permasalahan sudah selesai, karena salah satu tokoh utamanya tidak ada lagi. Tetapi tindakan tersebut malah membuat rakyat semakin berontak, perlawanan semakin besar. Dalam pemberontakan tersebut para ulama mendesak dan menginginkan agar Pangeran Raja Kanoman dipulangkan dari tempat pembuangannya, serta menuntut supaya Pangeran Raja Kanoman diangkat sebagai Sultan Cirebon. Perlawanan tersebut dinamakan Perang Santri yang terjadi pada tahun 1802-1806 M.
            Akhirnya Belanda mengembalikan Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808 M ke Cirebon. Setibanya di Cirebon, Pangeran tersebut tidak pulang ke keraton, tetapi singgah di Gua Sunyaragi. Pada tanggal 13 Maret 1808, Pangeran Raja Kanoman diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II sebagai Sultan Kacirebonan. Selama menjadi Sultan, Pangeran Raja Kanoman tidak mempunyai istana (keraton), karena menurut Belanda ia adalah pemberontak. Sultan Kacirebonan menjadikan tempat di dekat Gua Sunyaragi sebagai pusat kekuasaanya. Selama Sultan Kacirebonan memerintah, ia tidak banyak berhubungan dengan pihak Belanda, dan bahkan selama hidupnya tidak menerima bantuan apapun dari Belanda.[xv]
            Sementara itu, setelah gerakan perlawanan tidak berdaya lagi menghadapi kekuatan militer kolonial, maka sebagai akibat dari konsolidasi kekuasaan Belanda di bidang politik, nampaklah bahwa posisi dan peranan pemimpin pribumi yang diangkat Belanda hanya digunakan sebagai alat saja, sehingga antara mereka dengan rakyat terdapat jurang pemisah yang semakin lebar. Tahun 1809 merupakan titik puncak runtuhnya peranan kepemimpinan sultan-sultan di Cirebon, karena daerah Cirebon sejak tahun itu dijadikan hak milik pemerintah kolonial Belanda. Sultan-sultan diangkat sebagai pegawai negeri dengan mendapatkan gaji.          
Pada tahun 1814, Sultan Amiril Mukminin Mohammad Chaeruddin II wafat. Untuk melanjutkan peranan beliau kepada keturunannya, istri sultan meminta hak-hak kerja Sultan Kacirebonan selama hidupnya. Berkat kecerdasan istrinya, dengan uang gaji itu ia membangun Keraton Kacirebonan yang diteruskan oleh keturunannya yang bergelar Madenda.[xvi]
Gambar 14.  Sultan Raja Madenda IV
(1931-1950)
Sultan Kacirebonan V
Gambar 15.  Sultan Moch. Mulyana Amir Natadiningrat
(1968-1997)
Sultan Kacirebonan VIII


Gambar 16. Sultan Abdul Gani Natadiningrat
(1997 s/d sekarang)
Sultan Kacirebonan IX
Gambar 17.   Jumenengan Sultan Raja Muhammad Zulkarnaen di Gedung Karesidenan Cirebon (1873)


Gambar 18.   Jumenengan Sultan Raja Muhammad Nurbuat di Gedung Karesidenan Cirebon (1938)


[i] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah (Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986), hlm. 32. lihat juga Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (Bandung: Alqaprint, 2000), hlm. 29. 
[ii] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 30.
[iii] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 36.
[iv] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 32.
[v] Kompleks kedaton itu dewasa ini tinggal puing-puingnya saja, yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan sekarang. Kedaton Pakungwati itu dikelilingi oleh kuta, terletak di sebelah utara kali (sungai) Krian, dahulu namanya sungai Suba. Kuta itu dinamai Sang Asu, sedangkan dalem agung disebut Siru’llah. Lihat naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
[vi] Masjid Agung Sang Ciptarasa ini memiliki nuansa rasa cipta yang mengental. Nuansa yang berasal dari kedalaman rasa yang hakiki, seperti mengentalnya rasa kawula dengan Gusti (manunggaling kawula Gusti). Menyatunya rasa kawula-Gusti, berarti bahwa Sang Pencipta sajalah yang memiliki segala rasa, sementara sang mahluk hanyalah memiliki keikhlasan dan keridhoan dalam segala ketawakalannya. Oleh karena itu, Masjid Agung Sang Ciptarasa menjadi perhatian muslim dunia, yang sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya. Lihat T.D. Sudjana, Masjid Agung Sang Ciptarasa dan Muatan Mistiknya (Bandung: Humaniora Utama Press, 2003), hlm. 2 
[vii] Seperti atap pada Masjid Demak, Masjid Cirebon pun atap tengahnya ditopang oleh empat tiang kayu raksasa. Hanya tiga buah yang utuh, salah satu di antara tiang itu disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
[viii] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 37.
[ix] Ibid., hlm. 40.
[x] Putri Pangeran Gunung Panti Cucu Panembahan Losari.
[xi] P. Hempi Raja Kaprabonan, Sejarah Keraton Kaprabonan, hlm. 3-6.
[xii] Ibid., hlm. 12.
[xiii] Rosad Amidjaja, dkk., Pola Kehidupan Santri Pesantren Buntet Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (JAVANOLOGI), 1985), hlm. 26.
[xiv] Ibid,.
[xv] Ahmad Zaeni Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan, Kyai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara (Jakarta: Elsas, 2000), hlm. 28. lihat juga pada Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
[xvi] Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar