Selasa, 05 Februari 2013

Cirebon Kedatangan Laksamana Cheng Ho


Laksamana Cheng Ho[1] atau Wai Ping atau Zheng He atau Te Ho  melakukan ekspedisi pertama tahun 1405-1407 yang dimulai 11 Juli 1405. Laksamana Cheng Ho disertai rekan sejawatnya Ching-huang melawat ke San Fo Ji (Sriwijaya/ Palembang) dengan tujuan utama menangkap seorang perompak dan pemberontak Ch’en Zuyi beserta pengikutnya yang menyingkir dari Provinsi Fujian.
Titah Kaisar Ming pertama itu didasarkan pada laporan dari seorang Tionghoa lain yang tinggal di Palembang bernama Shi Jinqing. Ch’en Zuyi sangat kaya dan kekayaannya itu didapat dari pekerjaannya sebagai perompak di lautan yang menyerang kapal-kapal pembawa harta yang lewat perairan dekat Palembang. Ia menjadi penguasa lokal di sana dan memerintah dengan sangat kejam, walaupun secara de facto wilayah Palembang berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Majapahit di Jawa.
Sekembalinya dari ekspedisi pertamanya, Cheng Ho dan pasukannya berhasil menangkap perompak dan pemberontakan yang dipimpin oleh  Ch’en Zuyi serta  membunuh 5.000 orang serta merampas 17 kapalnya.Ch’en Zuyi dibawanya kembali ke Tiongkok. Kemudian Ch’en Zuyi diserahkan pada Kaisar di Nanking. Ia kemudian dihukum mati di hadapan Kaisar. Karena harus menumpas dan menangkap para perompak dan pemberontak, kembalinya ke Nanking mengalami keterlambatan tiga bulan. Ia tiba di ibukota Nanking pada tanggal 2 Oktober 1407 M.
Setelah Ch’en Zuyi dihukum, sebagai tanda terima kasih, Kaisar menghadiahi Shi Jinqing dengan mengangkatnya sebagai penguasa Palembang. Khusus untuk Palembang, nama-nama yang berhasil diungkapkan adalah San Fo Ji (mengacu ke Sriwijaya), Pa Lin Fong, Po Lin Bang atau Jiu Jiang (secara harfiah berarti “Pelabuhan Lama” atau “Sungai Lama”).
Menurut Purwaka Caruban Nagari, kedatangan armada Angkatan Laut Cina pada tahun 1415 M dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho bersama Ma Huan[3], penulis dan penerjemahnya yang beragama Islam, membawa 63 perahu dengan jumlah pasukan 27.800 orang, yang terdiri dari perwira, prajurit, ahli perbintangan, tabib, para penterjemah, akuntan, ahli mekanik, pedagang, perajin, tukang emas dan permata[4]. Mereka melakukan tugas muhibah atas perintah Kaisar Cina Chen Tu atau Yung Lo, Raja Dinasti Ming III. Tugas utama misi ini adalah membina persahabatan yang erat dengan kerajaan-kerajaan di seberang lautan serta mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming[5]. Misi ini adalah misi persahabatan yang berbeda dengan misi para penjelajah Eropa. Misi dari perjalanan Laksamana Cheng Ho bukan misi imperialis, di setiap daerah yang disinggahinya, ia tidak punya keinginan untuk mendudukinya. Di manapun tidak ada orang Tionghoa yang mendirikan kantor dagang, tidak pula mendirikan kota-kota militer yang diperkuat[6]. Dalam masa tujuh kali pelayarannya, ia berhasil memindahkan 25.000 orang Cina dari Provinsi Yunan dan Swatow di Cina Selatan ke Palembang, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Di Jawa, imigran Cina ditempatkan di Banten, Cirebon, Semarang, Juwana, Jepara, Gresik, Ampel (Surabaya), dan Bangil.
Setibanya di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon, mereka diterima oleh Ki Gedeng Jumajanjati atau Ki Gedeng Tapa, selama tujuh hari tujuh malam dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dalam persinggahannya, armada Cina itu sempat mendirikan mercusuar di atas Bukit Amparan Jati. Sebagai imbalan atas mercusuar yang didirikan, mereka diberi garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati oleh Jurulabuhan Dukuh Pesambangan[7].
Jika kita melihat apa yang tercatat dalam Negara Kretabumi dan Purwaka Caruban Nagari, maka keberadaan mercusuar karya bangsa Cina itu ternyata bukan saja sebagai menara pengawas  bagi kapal dan perahu, tetapi mercusuar itu juga merupakan tengara, bahwa akan datang sebuah perubahan zaman, yakni masuknya agama Islam. Setelah kedatangan Armada Cheng Ho banyak berdatangan pendatang beragama Islam.



[1]  Cheng Ho, Zhèng Hé dalam ejaan pinyin bahasa Tiongkok (Mandarin), menurut Wade-Giles: Cheng Ho; nama asli dalam ejaan pinyin adalah  Ma Sanbao; nama Arab: Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433M), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 M hingga 1433 M.

[2] Sumber foto : www.wiklipedia.com. Maritime Silk Road.
[3] Ma Huan adalah seorang muslim. Ia menemani Laksaman Zheng He sebanyak tiga kali dalam tujuh kali pelayarannya. Ia pandai berbahasa Arab, dan bertugas sebagai penerjemah sekaligus reporter. Tulisan terakhirnya mengenai pelayaran Laksamana Zheng He adalah tahun 1433 M. Ma Huan mencatat  semua pengalaman yang disaksikannya dan menuangkannya dalam buku yang berjudul Perjalanan Yingyai sheng-lan (The Overall Survey of the Ocean’s Shores yang berarti Survei Menyeluruh Wilayah-wilayah Pesisir) dipublikasikan pada tahun 1451 M. Buku itu merupakan deskripsi yang didasarkan pada observasi pribadi mengenai wilayah-wilayah yang terbentang mulai dari Asia Tenggara daratan di Timur, Asia Selatan, sampai ke Mekah di Barat. Akan tetapi, salah satu kesukaran yang dihadapi dalam membaca buku yang ditulis Ma Huan itu adalah dalam mencocokkan nama-nama wilayah dalam ejaan bahasa Tionghoa kuno dengan nama sebenarnya. Sumber : Ma Huan, Ying-yai sheng-lan : “The Overall Survey of the Ocean’s Shores, J.V.G. Mills, trans and ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 1970),  hal.34-37.   
[4]   Pelita edisi Minggu 7 April 1991.
[5]   (Sudjana, 1996 :181).
[6]   Van der Berg, hal 256.
[7]  Atja (1986) hal 31.

Cirebon Kedatangan Bangsa Tionghoa


Pada abad ke-5 M, gelombang Budhisme datang dari Cina di bawah pemerintahan Dinasti Selatan melalui jalur laut, dibawa oleh para pendeta Budha ke nusantara. Faxian (Fa Hsien) adalah pendeta Cina yang beragama Budha di India yang melakukan pelayaran ke Srilangka dan terdampar di Jawa (Ye-po-ti, artinya  Yawadwi (pa), pulau Jawa dalam transkrip Sansekreta). Ia tinggal di Jawa sekitar 5 bulan, yaitu Desember 412 M sampai Mei 413 M sebelum kembali berlayar kembali ke Cina[1].
Keterangan yang memuat tentang hubungan antara Jawa dengan Cina juga terdapat pada Berita Tahunan Dinasti-dinasti Selatan (Songshu dan Liangshu), dan dalam Tangshu, Xin Tangshu, dan Songshi[2].  Teks-teks yang berurutan itu juga menyebut She –po untuk abad ke-5, demikian pula He-le-tan yang terletak di She-po, lalu He-ling menggantikan She–po pada tahun 640-818 M[3]. She-po muncul sekali lagi pada tahun 820 M dan bertahan hingga zaman Yuan, yang kemudian diganti dengan Zhao-waShongshi menyebutkan adanya utusan Cina pada tahun 993 M dan 1109 M. Pada tahun 1129 M, Sang Maharaja memberikan gelar raja kepada penguasa She-po, yang menandai adanya maksud politik tertentu dari pihak Kekaisaran Cina untuk daerah yang bersangkutan[4].

Cirebon merupakan kota tua yang memiliki peradaban maju. Hal tersebut, tercermin dari bukti peninggalan sejarah pendahulunya, yang kini menjadi kekayaan khasanah budaya bangsa. Salah satunya adalah yang tertuang dalam naskah-naskah kuno yang berisikan tentang berbagai aspek kehidupan, baik berisi tentang sejarah, pengobatan, perbintangan, perhitungan tanggal dalam Islam dan Jawa, dan naskah agama. Diantara naskah tersebut yang berisikan sejarah, yang akan digunakan sebagai rujukan utama dalam penulisan buku ini di antaranya adalah Naskah Pustaka Negarakretabhumi dan  Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN). Beberapa naskah lainnya digunakan sebagai penunjang, di antaranya Sedjarah Tjirebon, Naskah Mertasinga, Naskah  Sajarah Lampahing Para Wali Kabeh, dan Serat Catur Kanda. Naskah-naskah tersebut merupakan bukti sekunder yang ditemukan untuk membantu merekonstruksi sejarah yang pernah terjadi, karena menemukan naskah primer untuk penulisan sejarah yang terjadi sebelum abad ke-18 sangatlah sulit. Begitu juga untuk menggali sejarah dari bukti arkeologis dengan menggali situs kuno di Cirebon merupakan hal mustahil, karena situs-situs tersebut sangatlah dihormati oleh masyarakat Cirebon. Selain itu, digali pula ingatan kolektif masyarakat berupa penuturan lisan dari para sesepuh keraton dan masyarakat.

Cirebon berperan sebagai jalan lalu-lintas yang dapat dilayari perahu atau kapal ke arah pedalaman, disaksikan oleh Tome Pires pada tahun 1513 M. Mungkin sungai yang dimaksud sekarang adalah Sungai Krian (sekarang yang dapat dilayari sampai ke Cirebon Girang). Dari catatan Tome Pires dikatakan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang besar dan ramai, jauh lebih ramai dari pelabuhan Demak. Hal tersebut diukur berdasarkan  kemampuannya untuk dilayari jenis perahu Junk[5]. Pelabuhan Cirebon didukung adanya Sungai Bondet yang dapat dilayari oleh perahu Junk sejauh 9 mil[6]. Pada masa itu Junk yang dimiliki oleh para saudagar Cina sangat terkenal.[7]


[1] Kisah pengembaraan Faxian tercantum dalm Fo-guo-qi, sudah beberapa kali diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Legge bersama teks Cinanya dan oleh H. Giles (The Travel of Faxien 399-414 M) atau  Regard Budhist Kingdom, dicetak ulang di London pada tahun 1956. Kutipan mengenai masa tinggalnya di Jawa diterjemahkan dalam karya Groeneveldt, Historical Notes, dicetak ulang di Jakarta, tahun 1960M.
[2]    Bagian-bagian mengenai Pulau Jawa telah dikumpulkan oleh Groeneveldt, Historical Notes, dicetak ulang di Jakarta, tahun 1960 M hal 6-20.
[3]    Dalam sebuah artikel ilmiah yang berjudul “La transcription chinoise Ho-ling comme désignation de Java (BEFEO L II, cet. Lepas I, Paris, 1964, hal. 93-141), L.-Ch. Damais telah membuktikan bahwa yang dimaksud dengan He-ling bukanlah Kalingga melainkan Wailing, sebuah daerah lokal yang terbukti ada dalam epigrafi.
[4]    Denys Lombard, hal 12-13.
[5]    Panjang perahu Junk mencapai 100 kaki dan lebar 40 kaki,  ada juga yang panjangnya 30 m dengan lebar 8 meter.
[6]     Cortesao, 1967 :183,186.
[7]   Tjiptoatmojo, 1983 : 91.

Senin, 28 Januari 2013

Berdrinya Caruban Nagari


Caruban Nagari, atau yang lebih di kenal dengan Grage (Negara Kedhe) diperkirakan jatuh pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 saka yang bertepatan dengan tanggal 8 April 1445 Masehi, hari Kamis, serombongan penduduk sebanyak 52 orang yang di pimpin oleh Ki Samadullah mendirikan sebuah desa di kawasan Hutan Pantai yang di sebut Tegal Alangalang yang biasa juga di sebut Kebon Pesisir. Penanggalan Hijriyah pada waktu itu adalah 29 Dzulhijjah tahun 847, atau mungkin sudah jatuh kepada tanggal 1 Muharrram 848 H.
            Penduduk desa baru itu memilih Ki Danusela yang telah 5 tahun bersama keluarganya bermukim dikawasan itu menjadi kuwu mereka yang pertama. Karena Ki Danusela kebetulan menantu Ki Gedeng Kasmaya raja Cirebon Girang, maka desa baru itu dinamai CirebonLarang atau Cirebon Pasisir. Mungkin semula kerajaan Ki Gedeng Kasmaya di lereng Gunung Cireme itu bernama Cirebon (saja). Baru setelah ada Cirebon Pasisir kerajaan itu disebut Cirebon Girang agar tidak tertukar dengan Cirebon yang didirikan oleh Ki Samadullah.
                Samadullah adalah nama pemberian gurunya, Syekh Datuk Kahfi guru agama islam mazhab Syafi’i di Amparan Jati. Nam aslinya adalah Pangeran Walangsungsang putra sulung Sri Baduga Maharaja dari Suabanglarang. Telah diutarakan bahwa Subanglarang pernah menjadi murid Syekh Hasanudin di Pondok Kuro, Karawang. Karena ia beragama islam anak-anaknya di izinkan menganut agama ibunya sejak kecil. Mereka adalah Walangsungsang, Rara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya wafat ketiga anakanya itu merasa tidak betah lagi tinggal di Pakauan karena selain persaingan antara putera raja cukup sengit walaupun terselubung. Walangsungsang dan adik-adiknya merasa lebih betah tinggal pada kakenya di Singapura. Kakeknya,  Ki Gedeng Tapa, adalah penguasa Singapura yang merangkap menjadi jurulabuhan di Muara Jati. Gedeng Tapa sebagai raja daerah dan sekaligus syahbandar sangat kaya. Terbukti kemudian dengan harta kekayaan yang diwarisinya dari Ki Gedeng tersebut Walangsungsang mampu membangun Keraton Pakungwati lengkap dengan pembentuykan pasukan baru.
            Telah dituturkan bahwa Lemah Kawikwan sekjaligus merupakan Binaya Panti (tempat mencari ilmu) karena pada silam yang di sebut Guru Utama adalah Maha Pandita. Juga pustaka-pustaka biasanya tersimpan di Kabuyutan karena ilmu waktu itu termasuk bagian dari agama sehingga pustaka-pustaka ilmu termasuk barang “keramat”.
            Seorang Toahaan (keturunan raja = pangeran) yang ingin bermutu harus rajin membaca pustaka, yang artinya harus rajin mukim di kediaman pendeta. Sebagai seorang Tohaan Walangsungsangpun tidak terlepas dari pola pikiran semacam itu. Ia haus akan ilmu dan pustaka serta mendambakan kehadiran seorang guru. Hal itu tidak dapat dipenuhinya di Pakuan dan sekitarnya karena ia seorang muslim yang mungkin selama di Istana hanya dapat belajar agama dari ibuanya. Setelah ibunya wafat, bagi dia dan adik-adiknya tak ada lagi penenang batin yang memadai. Makin keraslah niat Walangsungsang untuk meninggalakan Pakuan.
            Menurut kisah ia lolos malam hari, tetapi mungkin saja ia pergi baiuk-baik sebab tak ada alasan untuk menyembunyikan maksudnya untuk pergi ke Timur. Disana ada kakenya, baik dari piahak ayah maupun darai pihak ibu. Situasi pemeritahan dalam periode tersebut pada umumnya tidak fahami oleh para penulis babad. Pada saat Walangsungsang pergi dari Pakuan, penguasa btetinggi di Jawa Barat Wastu Kancana kakek Siliwangi yang waktu itu tentu belum bergelar “Siliwangi” ia masih Prabu Anom  tau wakil raja dibawah pemerintahan mertuannya, Prabu Susuktunggal. Demikian pula halnya dengan pusat pemerintahan yang waktu itu berkedudukan di Kawali, bukan di Pakuan.
            Jalan yang di tempuh Walangsungsang tentu sama dengan jalur yang dilukiskan oleh Bujangga Manik dalam kiasah perjalannya yang dilakukan beberapa tahun kemudian. Ia sampai ditempat Ki Danuwarsih seorang pendeta Budha yang menurut Pustaka Kertabhumi  1/4 tinggal di “Parahyangan bang wetan”. Ayahnya Ki Danausetra, adalah seorang pendeta Budha bertasal dari Gunung Dieng yang kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh (sebelum kawali).
            Hal itu menunjukan bahwa Walangsungsang memang haus akan ilmu. Di Pakuan tak mungkin berguru kepada pedeta karena semua orang tahu bahwa dirinya seorang muslim. Di Galuh ia berani melakukanya karena tidak akan ada orang yang “usil” terhadap dirinya. Dirumah Ki Danuwarsih itulah ia bertemu dan berjodoh dengan Nyi Indang Geulis putri sang pedeta. Nama itu nama sunda karena Ki Danuwarsih sendiri dilahirkan di Galuh.
            Ke rumah Ki Danuwarsih inilah kemudian Rara Santang tiba menyusul kakaknya. Adik mereka yang bungsu Raja Sangara tetap tinggal dipakuan dan baru kemudian setelah Cirebon berdiri ia pun berkumpul dengan kedua kakaknya. Hal ini membuktikan pula bahwa kepergian Rara Santang dari Pakuan dilakukan dengan terang-terangan tidak “lolos diam-diam” seperti lukisan babad. Logisnya ia akan disertai pengiring untuk keselamatannya. Rara Santang waktu itu adalah cucu penguasa Sunca-Galuh, Maharaja Niskala Wastu Kencana, lalu ayahnya menjadi prabu anom di Pakuan dan orang kedua dalam urutan ahli waris tahta Galuh bila Wastu Kencana telah tiada. Puteri semacam itu tidak akan dibiarkan “lolos” apalagi terlunta-lunta.
            Kemudian Walangsungsang bersama isteri dan adiknya pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi yang membuka Pondok Kuro di kaki Bukit Amparan Jati. Hal itu tentu atas prakarsa kakeknya, jurulabuhan Ki Gedeng Tapa raja Singapura. Dahulu putrerinya Subanglarang, dikimkannya belajar agama islam ke Ponndok Kuro Karawang. Setelah ada pesantren di Amparan Jati ia memilih pesantren ini untuk kedua cucunya karena terletak didaerah Cirebon. Seperti Syekh Hasanudin di Karawang, Syekh Datuk Kahfi pun sahabat Ki Jurulabuhan. Sebagai syah Bandar ia mempunyai pergaulan yang luas tanpa membedakan agama atau asal-usul kebangsaannya. Tetapi dibalik semua hal itu dapat terjadi karena keterbukaan sikap penguasa tertinggi Negara yaitu Wastu Kancana ayahanda Ki Juru Labuhan.
            Dari gurunya, Walangsungsang mendapat nama Samadullah. Gurunya menyarankan agar ia membuka perkampungan baru untuk penyiaran agama islam. Ia memilih kawasan hutan di kebon pasisir yang disebut Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk. Disitu telah ada Ki Danusela adik Ki Danuwarsih. Kampong yang sudah ramai didekatnya adalah Dukuh Pasambangan kampung yang pernah dimukimi oleh Haji Baharudin alias Ki Haji Purwa. Dibantu oleh sekelompok penduduk dukuh itulah Walangsungsang alias Ki Samadullah membuka perkampungan baru seperti telah diutarakan dalam awal paragraph ini.
            Penduduk kampung itu campuran berbagai bangsa dan agama. Mereka sepakat memilih Ki Danusela menjadi Kuwu mereka. Nama kampung itu mula-mula Tegal Alang-alang dan Walangsungsang menjadi Pangraksabumi dengan sebutan Ki Cakrabumi. Tiga tahun kemudian nama kampung itu di ubah menjadi kampung Cirebon Larang atau Cirebon Passir meniru nama Cirebon Girang tempat mertua Ki Danusela. Itula awal dari kelahiran Cirebon yang dibuka oleh Pangeran Walangsungsang  pada tanggal 14 bagian gelap bulan Caitra tahun 1367 Saka.
            Atas peintah gurunya pula Walangsungsang pergi naik haji ke Mekah. Karena isterinya tengah mengandung, ia pergi berdua bersama adiknya, Rara Santang. Di pelabuhan Jedah mereka berjumpa dengan Syarif Abdullah. Naskah babd selalu menyebunya sebagai “sultan Mesir” tetapi dalam naskah-naskah Wangsakerta ditegaskan bahwa Syarif Abdullah “dumadi ratwing sawijni ning kitha ing masir nagari” (menjadi salah satu penguasa kota di negeri Mesir) atau “rajamandala ing masir nagari” (raja daerah di negeri Mesir). Wangsakerta pun menegaskan bahwa Syarif Abdullah berasal dari “wangsa hasyim yang dahulu pernah menguasai Palestina tempat tinggal Bani Israil” dan sultan Mesir waktu itu disebutkan wangsa Ayubi dari Bani Mameluk.
            Jadi, ketidakcocokan tokoh Syarif Abdullah dalam sejarah Cirebon dengan sejarah Mesir hanya terdapatdalam naskah-naskah yang lebih muda, termasuk naskah Purwaka Caruban Nagari. Dalam Keratbumi kadang-kadang ada sebutan “sultan  Mesir” untuk kepraktisan, tetapi didahului dengan keterangan di muka. Demikian pula halnya dengan Sulaiman Al-Bagdad yang hanya seorang raja daerah.
            Rara Santang kemudian menjadi Isteri Syarif Abdullah. Sementara menunaikan ibadah haji mereka tinggal dirumah saudara Syekh Datuk Kahfi. Rara santang mengikuti suaminya ke Mesir dan mendapat nama Syaripah Mudaim sedangkan Walangsungsang mendapat nama Haji Abdullah Imam dari gurunya di Mekah, Syekh Abdul Yajid. Setelah tiga bulan ia kembali ke Pulau Jawa denagan singgah di Bagdad dan Cempaka.
            Di Cempaka ia berguru kepada Syekh Ibrahim Akbar yang di Jawa disebut Sekh Jatiswara. Walangsungsang dijodohkan dengan puterinya, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Cirebon bersama isterinya itu. Ia menjadi guru agama di desa Cirebon. Indang Geulis telah melahirkan seorang puteri yang dinamai Nyai Pakungwati. Kemudian Walangsungsang menikah dengan Reta Riris puteri Ki Danusela dan diganti namanya menjadi Kancanalarang.
            Setelah Ki Danusela wafat, Walangsungsang menjadi kuwu di Cirebon yang kedua. Ketika kakeknya Ki  Jurulabuhan wafat, ia tidak mewarisi kedudukannya, melainkan memperoleh warisan berupa harta. Kemudian ia mendirikan istana yang dinamainya Pakungwati seperti puteri sulungnya. Dengan harta warisan itu pula ia membentuk kesatuan tentara. Pembentukan “kerajaan” Pakungwati ini direstui oleh ayahnya yang segera mengutus Ki Jagabaya untuk menyampaikan tanda kekuasaan dan memberi gelar Si Mangana. Bersama dengan Ki Jagabaya ikut pula Raja Sangara adik Bungsu Walangsungsang.
            Kelak setelah Syarif Hidayat, putera Rara Santang dan Syarif Abdullah menetap di Cirebon dan menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat, Walangsungsang menobatkan suannya ini menjadi Tumenggung Cirebon. Pada saat itu penyebaran agama islam telah sampai di Kuningan  atas jasa Syekh Maulana Akbar alias Syekh Bayanullah adik Syekh Datuk Kahfi. Ketika Pangeran Walangsungsang bersama adiknya naik haji, mereka menumpang dirumah Syekh Bayanullah ini. Waktu Syekh Bantong putra Syekh Kuro dari Karawang naik haji, Syekh Bayanullah kemudian ikut Ki Bantong pulang ke Pualau Jawa. Syekh Bayanullah kemudian mendirikan Pondok Kuro didesa Sidapurna, Kuningan. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, Puteri Surayana, lurah Sidapurna. Surayana adalah putera Prabu Dewa Niskala dari isterinya yang ketiga. Dari perkawinan ini Syekh Bayanullah berputera Maulana Arifin.
            Maulana Arifin kelak berjodoh dengan Ratu Selawati penguasa Kuningan Cucu Prabu Siliwangi. Ia adalah adik Raden Jayaraksa  alaias Ki Gedeng Luragung dan kakak Raden Bratawiyana atau Arya Kemuning. Mereka di islamkan oleh uanya, Pangeran Walangsusang. Ketika Syarif Hidayat diangkat tumenggung oleh uanya, agama islam sudah berakar luas sampai di Kuningan dan Luragung.Atas dasar itulah, Syarif Hidayat dengan dukungan para kamastu (wali) memutuskan bahwa Cirebon harus menjadi Negara pusat kekuatan agama islam yang merdeka pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra 1404 Saka (Maret/April 1482 Masehi), Syarif Hidayat menjadi raja Cirebon dengan gelar Susuhunan Jati. Waktu itu kakeknya, Sri Baduga Maharaja, baru saja di nobatkan menjadi Maharaja.
            Ketika berita itu sampai di Pakuan, Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya bersama anak buahnya untuk “menertibkan” Cirebon dan mengatasi keadaan. Akan tetapi Jagabaya di sergap di dekat Gunung Sembung oleh pasuakan gabungan Cirebon-Demak. Pasukan Demak dibawa ke Cirebon oleh Raden Patah ketika ia menghadiri penobatan Susuhunan Jati. Ketika ia pulang, sebahagian pasukannya ditinggalkan di Cirebon untuk menjaga kemungkinan adanya serangan dari Pakuan. Jagabaya bersama pasukannya kemudian masuk Islam.
            Karena Jagabaya lama tidak kembali, Sri Baduga lalu mempersiapkan pasukan besar untuk menyerang Cirebon. Namun niat tersebut dapat di cegah oleh purohita (pendeta tertinggi keratin), Ki Purwagalih.mungkin kedudukan Syarif Hidayat sebagaicucu sang Maharaja dan ia pun di nobatkan oleh Pangeran Walangsungasang telah meredakan murkanya. Seorang kakek yang memerangi anak dan cucunya tentu akan di cemoohkan orang. Walaupun demikian tokoh setinggi purohita Ki Purwagalih ini dalam Babad Padajaran “ dijadiakan” panakawan Guru Gantangan dengan tingkah laku ala Karang Tumaritis.
            Cirebon akhinya menjadi Negara merdeka. Sebelumnya, Cirebon termasuk kawasan Galuhyang di tempatkan dibawah pengawasan Arya Kiban, bupati Galuh yang berkedudukan di Palimanan. Karena pusat pemerintahan dialihkan dari Kawali ke Pakuan, Sri baduga menunjuk Jayaningrat, salah seorang putera Dewa Niskal, menjadi raja di daerah Galuh.

Sekilas Tentang Pangeran Carbon


Pangeran Carbon merupakan anak dari Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dengan Ratna Risis. Pangeran Carbon setelah dewasa dinikah dengan Nyi Cupluk, putri Ki Gedeng Trusmi. Dari pernikahan mereka berputra anak sulung laki-laki, yaitu Pangeran Trusmi/ Pangeran Mangana Jati. Isterinya yang kedua yaitu  Nyi Mas Kencana Sari, puteri Pangeran Panjunan dengan Nay Matang Sari. Dari pernikahannya, pangeran Carbon dengan Nay Mas Kencana Sari berputera laki-laki, Ki Gedeng Carbon Girang namanya.
Pangeran Carbon sangat menghormati ayahnya, sehingga ia tidak berkeberatan jika Syekh Jati yang menggantikan posisi ayahnya menjadi penguasa Carbon.
Namun karena berguru kepada Syekh Lemah Abang yang  beraliran Syiah dan berambisi menjadi Raja Tanah Jawa, pada saat Susuhunan Jati berkuasa selalu terjadi perselisihan antara bala tentara Carbon dengan para ki gede yang memusingkan Kanjeng Sinuhun. Sehingga ketika Rajaa Demak, Raden Patah mengirimkan surat melakui Sunan Kudus[1] untuk meminta bantuan mengatasi masalah pengging (Syekh Siti Jenar/ Syekh Lemah Abang dan para pengikutnya), Susuhunan bersedia membantu, hingga berakhir pada ditangkapnya Syekh Siti Jenar dan di jatuhu hukuman mati, yang dilaksanakan oleh Sunan Kudus.


[1] Sunan Kudus merupakan pimpinan angkatan bersenjata kerajaan Demak.
http://pesambanganjati.blogspot.com/ , http://tasawufyepeje.blogspot.com/ http://alhadisyepeje.blogspot.com/ http://naskahcirebon.blogspot.com/ http://putrasangrasa.blogspot.com/ http://carubann.blogspot.com/ http://cirebonmasalalu.blogspot.com/ http://sahadatcerbon.blogspot.com/

Perjalanan Syekh Syarif Hidayatullah


Setelah Syarif bertemu dengan pamannya, Pangeran Cakrabuana sangat senang dan menyampaikan keinginannya agar Syarif Hidayat berkenan menjadi raja. Namun Syarif Hidayat menolak karena ia  masih ingin berkelana. Syarif Hidayat pun pergi ke negeri Cina dan sebelumnya mampir ke Jamhur bertemu dengan Raja Lahut. Di Cina Syarif Hidayat menjumpai pengrajin tabsyi yang sudah masuk Islam, begitu pula dengan orang-orang daerah sekitar hingga beliau masuk ke negeri Tartar.
Islam sudah berkembang di daerah itu dan banyak penganutnya. Islam masuk ke Negeri Tartar sejak zaman sahabat Anas bin Malik. Meskipun Islam sudah tersebar di sana, Syarif Hidayatullah senantiasa berdakwah di daerah tersebut untuk mempertebal keimannya. Syarif Hidayatullah berada di negeri Tartar beberapa tahun lamanya, sambil memperluas keislamannya, mengajarkan syahadat, shalat, serta melakukan pengobatan. Pengobatan yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati yaitu dengan syahadat dan shalat. Di sana pun Syarif Hidayat sempat belajar membuat keramik.
Karena ketenaran Syarif Hidayatullah, Raja Cina memanggilnya untuk menguji Syarif Hidayat. Pada saat itulah Syarif Hidayat bertemu dengan Putri Ong Tin Nio yang kelak menyusulnya ke tanah Jawa dan menjadi istrinya.
Setelah dari negeri Cina, Syarif Hidayat ke tanah Jawa dengan terlebih dahulu menjemput Raja Lahut. Dengan membawa seratus orang prajurit mereka kembali ke tanah Jawa.
Setibanya di tanah Jawa, Syarif Hidayat disambut dengan gembira. Mereka berkumpul di Bale Jajar bersama Babu Dampul dan Ki Gusah. Kabar tentang kedatangan Syarif Hidayat terdengar oleh para pembesar di Cirebon diantaranya Ki Gedeng Kali Wulu, Ki Gedeng Kaliwedi, Ki Gedeng Bangulara, Ki Gedeng Bangayalu, Ki Gedeng Maja, Ki Gedeng Kalideres, Ki Gedeng Konda, Kyai Gedeng Gegesik, Ki Gedeng Waru, Gedeng Dawuhan, Ki Gedeng Cideng. Mereka kemudian menghadap pada Syarif Hidayat. Kemudian datang juga menghadap Gedeng Malaka, Gedeng Kalitengah, Gedeng Sembung (Kalisapu), mereka semua mengunjungi pakuwon, menyampaikan hormatnya kepada Syarif Hidayat/Syekh Maulana Kabir. Hadir pula para buyut diantaranya Ratu Junti, Ratu Gumulunggu, Ratu Jepura, serta Dipati Cengal. Semuanya berkumpul menyampaikan keinginan mereka untuk menobatkan Syekh Maulana menjadi raja di Carbon. Akan tetapi Syekh Maulana Kabir belum bersedia. Ia bermaksud menjemput ibundanya dulu di Mesir sehingga dapat menyaksikan penobatannya. Kemudian Syekh Maulana Akbar menyerahkan urusan rumah tangga pada Babu Dampul dan berangkat menjemput ibundanya di Bani Israil. Sesampainya di Mesir Syekh Maulana menyampaikan keinginannya agar ibundanya berkenan tinggal di Sembung bersamanya di wilayah dawil arham (suci, tercinta milik Allah Ta’ala).
Sementara di Gunung Jati kehadiran tamu yaitu Pangeran Panjunan. Pangeran Panjunan beserta rombongan dating beserta pengikut dan prajuritnya. Serdadu yang dibawahnya sangat menakutkan. Patih keling sangat terkejut  kemudian ia memeriksanya. Patih keling menyambut Pangeran Panjunan dan menyampaikan bahwa pemimpin mereka Syekh Maulana sedang pergi ke Bani Israil.Kemudian Pangeran Panjunan berpesan bahwa ia ingin bertemu dan ingin membicarakan tentang ilmu. Rombongan tamu itu pun pulang meninggalkan Gunung Sembung menuju Kebon Syarif, di Panjunan.
Syekh Maulana pulang dengan ibunya beserta raja Cempa tiba di gunung sembung. Tak lama kemudian datang dengan gaduhnya meniup terompet dan tambur dan tidak ketinggalan barisan prajuritnya. Syekh Maulana Jati kemudian menemuinya Pangeran Panjunan mereka diterima di Mande Patani.
Pangeran Panjunan pun sudah dipersilahkan duduk, duduk di tempat yang sesuai dengan kedudukannya. Pangeran Panjunan berkeinginan menjadi raja karena merasa datang terlebih dahulu ke Carbon dan merupakan keturunan raja Mesir yang lebih senior daripada Syekh Maulana. Sehingga ketika Syekh Maulana datang ia bermaksud mengadu ilmu guna menentukan siapa yang pantas menjadi raja.
Pengikut Pangeran Panjunan, bertanya pada Syekh Maulana maksud kedatangan ke Pulau Jawa, apakah ilmu yang dimiliki berani mengislamkan tanah Jawa, apakah ilmu yang dimiliki. Pangeran Panjunan merasa pantas menjadi raja karena sakti dan telah berguru pada Syekh Junaid.  Dengan rendah hati Syekh Maulana menjawab bahwa modal yang ia bawa hanya dua kalimat syahadat. Sebagai orang muda ia  Syekh Maulana hanya memberanikan diri dan meminta Pangeran Panjunan mengajarinya. Pangeran Panjunan mengatakan bahwa orang yang telah mencapai derajat makrifat untuk apa bersyahadat dan shalat. Dijawab oleh Syekh Maulana bahwa  seandainya seperti  itu, bagaimana kita memandang masalah. Adapun yang dipandang keadaan kawula gusti, ada ratu/ raja ada rakyat, bila mana hanya  sekedar berkonsentrasi pada tauhid, yang mana yang menjadi raja apabila menggunakan kesatuan/ menjadi satu. Siapa yang menjadi umat, siapa yang menjadi Tuhan.  Sungguh keadaan yang tidak ada ujungnya.
Syekh Syarif mengatakan bahwa gurunya adalah nyawa Rasulullah dan gurunya adalah Syekh Jumadil Kkabir, Wali Aretullah, Syekh Datuk Sidiq dari Pasai, Syekh Datuk Bahrul dan  ayahanda Sunan Ampel Denta yang menyuruhnya menetap di Gunung Amparan Jati.
Kemudian Pangeran Panjunan termenung. Syekh Maulana bertanya apakah tujuan membangun masjid di Panjunan bila diterlantarkan, apakah hanya sekedar untuk menunjukkan kekuasaan pada para pengikut saja, dan hanya untuk menunjukkan siapa yang dipanggil Pangeran dan  apakah Pangeran ingin menjadi raja tanpa pengikut, tanpa usaha.  Pangeran Panjunan merasa kalah berargumentasi. Ia mengakui bahwa Syekh Maulanalah yang benar dan mengatakanbahwa Syekh Maulanalah yang lebih pantas untuk menjadi raja. Sehingga akhirnya Pangeran Panjunan bersama  keluarga  ke Wringin Pitu, suatu daerah di kaki bukit Plangon/ Bukit Kera di Kabupaten Cirebon.
Syekh Maulana merupakan pribadi yang rendah hati, tidak sombong. Ia sopan dalam bertindak dan santun dalam berkata, memiliki kecerdasan berpikir dan spiritual, matang ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu agama. Syekh Maulana merupakan  perwira yang tangkas yang banyak memiliki pengikut yang mumpuni baik dari kalangan raja, pembesar, maupun panglima.
Syekh Maulana memiliki konsep yang visioner dan wawasan berpikir internasional, dengan telah dikunjunginya berbagai Negara ketika ia belajar dan berkelana. Hal tersebut jauh berbeda dengan Pangeran Carbon, sepupunya yang hanya menjadi penguasa dan panglima angkatan perang di wilayah Cirebon.
Syekh Maulana kemudian diangkat  menjadi raja. Ia  mengudang kepada  Sunan Kalijaga, Pangeran Drajat, Pangeran Makdum, Pangeran Luwung, Pangeran Sendang, Pangeran Tayuman, Pangeran Reken di Losari, Pangeran Pasalaka, Pangeran Magrib, Pangeran Gagak Lumayu, Pangeran Satang Lumari, Pangeran Kajaksan, Pangeran Plangon, Pangeran Karang Kendal, Pangeran Bramacari, Pangeran Welang, Pangeran Supekik, Pangeran Carbon Girang, Pangeran Wanacala, Pangeran Sucimana, dan Pangeran Kedung Soka.
Para pembesar berkumpul untuk melaksanakan penobatan Syekh Maulana menjadi Susuhunan di Pakungwati, disaksikan oleh ibundanya Nyi Mudaim serta Uwanya sunan Rangga, dan kakandanya Pangeran Jakerta, Raja Cempa. Pangeran Panjunan dan pengikutnya mendukung dengan cara membangun pagar-pagarnya, membuat pintu-pintu kerajaan, merancang pedaleman serta menyiadakan tukang batunya. Dari Majapahit datang Raden Sepat, yang mempunyai hubungan keluarga dengan Panjunan. Ki Gedeng Kagok Garenjeng, Pangeran Reken turut membantu Susuhunan. Tembok kota (kuta) Carbon sudah bertaut, lawang saketeng juga sudah didirikan.
Syekh Maulana diangkat oleh uwaknya pada tahun 1479 M menjadi Tumenggung di Nagari Carbon disaksikan oleh ibunya sebagai legitimasi genealogis dan hukum tak tertulis, bahwa ini memiliki waris sebagai penerus kerajaan di tanah Sunda. Ia bergelar dengan gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosulullah Shallollahu Alaihi Wassalam[1] dengan didukung oleh semua pembesar di pesisir Sunda.  Sementara itu Wali Sembilan yang hadir  menyambut gembira penobatan Susuhunan Jati. Para wali  memberi gelar Penetep Panatagama Rasul, menggantikan Syekh Nurjati. Gelar klalifah yang diberikan kepada Syek Maulana Jati/ Syekh Jati merupakan gelar dakwah melaui  kekuasaan dari jalur bapak. Dimana ia merupakan penerus pemimpin di luar jazirah Arab.
lihat juga di
http://cirebonmasalalu.blogspot.com/


[1]    Pangeran Suleman Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon, hal. 35.http://cirebonmasalalu.blogspot.com/