Kamis, 23 Februari 2012

Sejarah Sumedang dari masa ke masa


Sejarah sumedang dari masa ke masa

INSUN MEDAL DARI MASA KE MASA

I. MASA KERAJAAN.
SUMEDANG LARANG “Insun Medal Insun Madangan"
Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan Medang Kahiyangan (252 – 290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dilihat dari posisi Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa yang memegang kekuasaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan. Dilihat dari masa kedua kerajaan tersebut sangat berjauhan dan tidak ada hubungan sama sekali, berdasarkan penyelusuran penyusun bahwa keturunan dari Medang Kahiyangan merupakan keturunan Raja Salakanagara ke 5 dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman menantu Dewawarman IV, sedangkan menurunkan keturunan Sumedang Larang berasal Manikmaya Kerajaan Kendan menantu Suryawarman raja Tarumanagara ke 7 yang kemudian juga menurunkan raja-raja Galuh dan Sunda.

Cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedang Larang berawal dari kerajaan Tembong Agung. Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M, sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Prabu Guru Aji Putih merupakan putra Ratu Komara keturunan dari Wretikandayun. Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana. Dalam kropak 410 disebutkan pula bahwa Tajimalela itu adalah Panji Romahyang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura. Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 - 1350) penguasa di Kawali dan S














uryadewata ayah Batara Gunung Bitung di Majalengka. Dalam masa pemerintahan Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475), Singapura diperintah oleh putranya yang kedua Surawijaya Sakti yang kemudian digantikan oleh adiknya Ki Gedeng Sindangkasih, putra Wastu Kancana yang ketiga yang disebut Mangkubumi Sumedang Larang karena waktu itu Sumedang Larang menjadi kerajaan bawahan Galuh. Kemunculan Sumedang Larang tentu sejalan dengan kasus kemunculan kerajaan Talaga yang dirintis oleh tokoh Praburesi yang tetap berada di bawah Galuh.

Ketika Batara Kusuma sedang bertapa , terjadi suatu keajaiban alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga Batara Kusuma berucap “ In(g)sun Medal In(g)sun Madangan” (In(g)sun artinya “saya”, Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk memberikan penerangan” dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya), sehingga Batara Kusuma dikenal pula sebagai Tajimalela dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi. Selain itu Tajimalela menciptakan ilmu Kasumedangan terdiri dari 33 pasal “Sideku Sinuku Tunggal Mapat Pancadria” ilmu yang berisikan hubungan manusia dengan Sang Pecipta dan Antara manusia dengan manusia, seperti yang terpancar dalan tembang Sinom berikut :
Sumanget ka Sumedangan
Tara ngukut kanti risi
Tara reuwas ku beja
Sikepna titih carincing
Jauh tina hiri dengki
Nyekel tetekon nu luhung
Gagah bedas tanpa lawan
Handap asor hade budi
Kasabaran nyata elmu katunggalan

Prabu Tajimalela merupakan raja pertama Kerajaan Sumedang Larang (721 – 778 M) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabu Guru Aji Putih. Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung (778 – 893 M) kemudian digantikan oleh Gajah Agung . Kisah awal Prabu Gajah Agung sangat mirip kisah awal Kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi tetapi melihat masa pemerintahannya Prabu Gajah Agung pada tahun 839 M sedangkan Ki Ageng Pamanahan tahun 1582 M jelas terlihat waktu yang sangat berbeda. Menurut kisah Babad Tanah Jawi itu Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda sementara Ki Ageng Sela pergi, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya, yang akhirnya Ki Ageng Pamanahan menjadi Raja Mataram sedangkan dalam Babad Darmaraja ketika Prabu Tajimalela menunjuk Lembu Agung untuk menjadi raja Sumedang Larang yang kedua, Lembu Agung menolaknya, Lembu Agung memilih untuk menjadi resi daripada menjadi seorang raja sepertinya adiknya Sunan Ulun menjadi resi demikian pula dengan Gajah Agung menolak, akhirnya Tajimalela memanggil kedua putera kembarnya yaitu Lembu Agung dan Gajah Agung, ketika kedua puteranya datang Prabu Tajimalela menyuruh kedua puteranya untuk menunggui sebuah kelapa muda dan sebilah pedang di tengah lapangan berapa saat kemudian Prabu Tajimalela pergi meninggalkan mereka berdua, setelah menunggu berapa lama kemudian Prabu Lembu Agung pergi sementara tinggallah Prabu Gajah Agung seorang diri akhirnya Prabu Gajah Agung tak kuat menahan haus kemudian meminumnya buah kelapa tersebut, akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung (893 – 998 M) sebagai raja Sumedang Larang kedua, periode pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih kepada karesian dari pada keprabuan dan mulai dari sini pusat pemerintahan dipindah dari Darmaraja ke Ciguling Pasanggrahan Sumedang Selatan. Prabu Gajah Agung mempunyai putra bernama Wirajaya atau Jagabaya atau dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114 M) kemudian menjadi raja Sumedang Larang keempat. Setelah wafatnya Prabu Pagulingan digantikan oleh Mertalaya yang
dikenal sebagai Sunan Guling (1114 – 1237 M)mempunyai tiga putra; Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan, Jayadinata dan Kusuma Jayadiningrat. Setelah Sunan Guling wafat digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462 M) sebagai raja Sumedang Larang yang keenam. Sunan Tuakan memiliki tiga putri; yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata Pakuan Pajajaran, yang kedua Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan dan yang ketiga Sari Kencana diperisteri oleh Prabu Liman Sanjaya keturunan Prabu Jaya Dewata.

Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umum (1530 – 1578 M).

Pada masa Ratu Sintawati agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 M) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530 M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.

Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten . Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya. Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.

Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan., sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati. Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari 44 penguaa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Tidak semuanya bekas kerajaan bawahan Pajajaran mengakui Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra , sehingga terpaksa Prabu Geusan Ulun menaklukan kembali kerajaan-kerajaan tersebut seperti Karawang, Ciasem, dan Pamanukan.


HANJUANG DI KUTAMAYA.
Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun ada suatu peristiwa penting, menurut Pustaka Kertabhumi I/2 (h.70) peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau 1585 M. Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik. Harisbaya merupakan puteri Pajang berdarah Madura yang di “berikan” oleh Arya Pangiri penguasa Mataram kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral karena setelah Hadiwijaya raja Pajang wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga keraton Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya, tetapi pihak keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan menantu Hadiwijaya sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang meneruskan kekuasaan di Pajang.

Selama berguru di Demak Prabu Geusan Ulun belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di Pajang inilah Prabu Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan kekasih yang akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di paksa nikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah pulang berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih. Melihat mantan kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang. Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang prabu. Akibat peristiwa Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon, sebelum berangkat perang Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon Hanjuang di Ibukota Sumedang Larang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup? Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai. Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun menunggu Jaya Perkosa dengan gelisah dan cemas, karena anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya Perkosa gugur dalam medan perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Jaya Perkosa. Maka sejak itu Ibukota Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Keputusan Geusan Ulun memindahkan pusat pemerintahan ke Dayeuh Luhur sesungguhnya merupakan langkah logis dan mudah difahami. Pertama, dalam situasi gawat menghadapi kemungkinan tibanya serangan Cirebon, kedua benteng Kutamaya yang mengelilingi Ibukota belum selesai dibangun, ketiga, Dayeuh Luhur di puncak bukit merupakan benteng alam yang baik dan terdapat kabuyutan kerajaan.

Jayaperkosa kembali ke Kutamaya dengan membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota telah kosong sedang pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul ke Dayeuh Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah kepada Nangganan bahkan membunuhnya dan meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga.Terdengar kabar dari Cirebon terdengar bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya sebagai ganti talaknya daerah Sindangkasih. Akhirnya Prabu Geusan Ulun menikah dengan Harisbaya dan berputra dua, Raden Suriadiwangsa dan Pangeran Kusumahdinata, sedangkan dari istri pertamanya Nyi Gedeng Waru berputra Rangga Gede. Setelah Prabu Geusan Ulun wafat merupakan akhir dari nalendra kerajaan Sunda Sumedang Larang dan Sumedang memasuki masa kebupatian ketika dipimpin oleh Raden Suriadiwangsa / Rangga Gempol dan menjadi bawahan Mataram.

Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.


II. MASA KEBUPATIAN.
1. RANGGA GEMPOL / PANGERAN SURIADIWANGSA

Pada tahun 1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). Setelah menjadi Bupati Pangeran Aria Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III dengan Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong, sedangkan putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu Sumedang di bagi menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa di Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan Ibukota di Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.

Pada masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa, Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Penyerahan Sumedang ke Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625). Pada tahun 1614 Sultan Agung mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon kepada VOC . Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede . Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Sejak Rangga Gempol menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633 – 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II).
2. PANGERAN RANGGA GEDE.
Seperti di cerita diatas, sejak Pangeran Rangga Gempol III pergi ke Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh saudaranya Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV (1625 – 1633).

3. PANGERAN RANGGA GEMPOL II
Setelah wafatnya Rangga Gede digantikan oleh putranya Raden Bagus Weruh setelah menjadi bupati memakai nama Pangeran Rangga Gempol II / Kusumahdinata V (1633 – 1656), Pangeran Rangga Gempol II tidak diangkat menjadi Bupati Wadana tetapi hanya Dipati Sumedang saja.
Bupati Wadana, sejak Amangkurat I menjadi Sultan Mataram tidak ada lagi, dengan demikian Rangga Gempol II hanya menjadi Bupati Sumedang. Pada tahun 1655 pembagian kabupatian – kabupatian bukanlah pada wilayah kabupatian tetapi cacahnya. Demikian pula batas kekuasaan bukan batas teritorial tetapi batas sosial, tiap kabupaten mendapat + 300 umpi. Sumedang dengan cacah satu perempat dari cacah Sumedang pada masa Rangga Gede. Setelah Rangga Gempol II wafat digantikan oleh putra Pangeran Panembahan.

4. PANGERAN PANEMBAHAN / RANGGA GEMPOL III
Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) adalah bupati yang cerdas, lincah, loyal, berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya penuh dengan perjuangan dan patriotisme beringinan mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran Rangga Gempol III / Kusumahdinata VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan, gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat tercukupi .

Pada tahun 1614 Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi inilah Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram. Pangeran Panembahan adalah bupati pertama yang berani menentang dan mampu memperalat kompeni VOC. Pangeran Panembahan berani menentang dan melepaskan diri dari Mataram dan berani dan mampu menghadapi Banten.

Setelah wafatnya Sultan Agung Mataram (1645) digantikan oleh puteranya Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677). Pada tahun 1652 Mataram mengadakan kontrak dengan VOC secara lisan, VOC diberi hak pakai secara penuh oleh Mataram atas daerah sebelah barat Sungai Citarum dengan demikian Sumedang tidak termasuk daerah yang diserahkan kepada kompeni oleh Mataram yang waktu itu Sumedang dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II, atas perjanjian tersebut VOC tidak puas maka pada tahun 1677 VOC kembali mengadakan perjanjian secara tertulis, perjanjian tersebut disaksikan oleh Pangeran Panembahan. Salah satu butir dalam perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik penuh VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan VOC tersebut oleh Susuhunan Amangkurat I ditolak dan Susuhunan Amangkurat I mengatakan bahwa daerah antara Citarum dan Cipunagara bahwa daerah tersebut merupakan kekuasaan kebupatian Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Panembahan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedang Larang ketika dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Penolakan tersebut diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut dengan catatan daerah yang diserahkan pada tahun 1652 menjadi milik VOC .

Cita – cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah kerajaan Sumedang Larang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak Sumedang untuk berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang, yang akhirnya Banten menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang. Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC . Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari 1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. Meskipun demikian VOC bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang (sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur.

Serangan pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian daerah pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang .

Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes /Bogor, Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui penjagaan VOC, awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi pasukan Banten tidak bisa masuk ke Ibukota karena Pangeran Panembahan bertahan dengan gigih. Pada serangan pertama ini Banten mengalami kegagalan karena tepat waktu Ibukota Sumedang diserang, di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa dan Sultan Haji Surasowan,. Selama sebulan lamanya tentara Banten yang dipimpin oleh Raden Senapati bertempur dan Raden Senapati tewas dalam pertempuran tersebut sehingga pasukan Banten ditarik mundur karena Sultan Agung memerlukan pasukan untuk menghadapi puteranya Sultan Haji. Pangeran Panembahan akhirnya menguasai seluruh daerah pantai utara dan Pangeran Panembahan berkata kepada VOC akan taat dan patuh asalkan terus membantunya terutama pengiriman senjata dan mesiu tetapi Pangeran Panembahan tidak taat bahkan menentang kompeni VOC dan tidak pernah datang ke Batavia dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti kepada VOC, yang akhirnya VOC menarik pasukannya dari pantai utara.. Setelah menguasai pantai utara Pangeran Panembahan menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram pada tahun 1641 seperti Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura . Dengan demikian Pangeran Panembahan menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedang Larang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC tahun 1677. Sehingga Sumedang mencapai puncak kejayaannya kembali setelah pada masa Prabu Geusan Ulun. Penarikan pasukan VOC dari pantai utara membuka peluang bagi Banten dengan mudah untuk masuk wilayah Sumedang. Dalam melakukan penaklukan daerah-daerah di pantai utara dan menghadapi Banten, Pangeran Panembahan dilakukan sendiri berserta pasukan Sumedang tanpa ada bantuan dari VOC sama sekali, bantuan VOC hanya menjaga batas luar wilayah Sumedang dan selama menjaga VOC tidak pernah terlibat perang secara langsung di wilayah kekuasaan Pangeran Panembahan, bantuan lain dari VOC berupa pengiriman beberapa pucuk senjata dan meriam setelah Sumedang pertama kalinya diserang oleh Banten.

Pada awal oktober 1678 pasukan Banten kedua kalinya kembali menyerang Sumedang, serangan pertama pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan akhirnya jatuh ke tangan pasukan Banten sedangkan pasukan kompeni yang dahulu menjaga daerah tersebut telah ditarik . Akhirnya pasukan Bali dan Bugis bergabung dengan pasukan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang. Pada awal bulan puasa pasukan gabungan tersebut telah mengepung Sumedang, pada tanggal 18 Oktober 1678 hari Jumat pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang Sumedang tepat Hari Raya Idul Fitri dimana ketika Pangeran Panembahan beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong, serangan pasukan Banten ini tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena bertepatan dengan Hari Raya dimana ketika Pangeran Panembahan dan rakyat Sumedang sedang beribadah kepada Allah. Akibat serangan ini banyak anggota kerabat Pangeran Panembahan yang tewas termasuk juga rakyat Sumedang. Pangeran Panembahan sendiri berhasil meloloskan diri ke Indramayu dan tiba pada bulan Oktober 1678. Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten. Oleh Sultan Banten, Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Sacadiparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja. Selama di Indramayu Pangeran Panembahan menggalang kekuatan kembali dengan bantuan dari Galunggung, pasukan Pangeran Panembahan dapat merebut kembali Sumedang setelah enam bulan berada di Sumedang, pada bulan Mei 1679 Cilikwidara menyerang kembali dengan pasukan lebih besar, yang akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Cilikwidara, Pangeran Panembahan terpaksa mundur kembali ke Indramayu. Pendudukan Sumedang oleh Cilikwidara tak berlangsung lama pada bulan Agustus 1680 pasukan Cilikwidara ditarik kembali ke Banten karena terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang didukung oleh VOC, dalam konflik tersebut dimenangkan Sultan Haji. Sejak itu kejayaan Sultan Banten berakhir. Sultan Haji berkata kepada VOC bahwa Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon dan Sumedang, yang pada akhirnya berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang. Pada tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang dan bulan Mei 1681 memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan (Sumedang sekarang) dan membangun gedung kebupatian yang baru Srimanganti sekarang dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang, pembangunan Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol II. Pada tahun 1705 seluruh wilayah Jawa Barat dibawah kekuasaan kompeni VOC Setelah wafatnya Pangeran Panembahan digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Pangeran Rangga Gempol III Panembahan merupakan bupati paling lama masa pemerintahannya hampir 50 tahun dari tahun 1656 sampai tahun 1705 dibandingkan dengan bupati – bupati Sumedang lainnya.

Setelah peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Sumedang, Pangeran Panembahan membentuk sistem keamanan lingkungan yang disebut Pamuk terdiri dari 40 orang pilihan, setiap pamuk mendapatkan sawah dari Pangeran Panembahan, sawah tersebut boleh digarap dan diterima hasilnya oleh pamuk yang bersangkutan selama ia masih bekerja sebagai pamuk. Sawah tersebut dinamakan Carik, suatu sistem gaji yang bekerja untuk kebupatian. Carik disebut juga Bengkok di daerah lain yang akhirnya sistem pemberian gaji ini untuk Pamong Desa.

Pangeran Rangga Gempol III Panembahan menyisihkan sebagaian tanahnya miliknya sebagai sumber penghasilan bupati, agar penghasilan bupati tidak lagi menjadi beban rakyat. Tanah tersebut tidak boleh dibagi waris jika Pangeran Panembahan wafat tetapi diturunkan lagi kepada bupati berikutnya secara utuh dan lengkap.

5. TUMENGGUNG TANUMADJA.
Pengganti Pangeran Panembahan adalah putranya Raden Tanumadja (1706 – 1709), Raden Tanumadja adalah bupati pertama yang diangkat oleh kompeni. Pengangkatannya pun disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Raden Tanumadja dibawah Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Gubernur di Priangan.
Seperti di ceritakan di atas pada tahun 1681 Ibukota Sumedang dipindahkan dari Tegal Kalong ke Regolwetan oleh Pangeran Panembahan. Dalam membangun Ibukota sumedang yang baru Pangeran Panembahan tidak sempat menyaksikan karena keburu wafat maka pembangunan dilanjutkan oleh Putranya Raden Tanumadja, pada masa Pangeran Panembahan membangun gedung kabupatian baru bernama Srimanganti yang selanjutnya pembangunan gedung Srimanganti diselesaikan oleh Raden Tanumadja.

6. PANGERAN KARUHUN.
Setelah Tumenggung Tanumadja wafat, putranya menggantikannya Raden Kusumahdinata VII (1709 – 1744) diangkat menjadi bupati. Raden Kusumadinata memohon memakai gelar Rangga Gempol IV seperti kakeknya. Pangeran Kusumadinata VII juga memusuhi Pangeran Aria Cirebon karena Kusumadinata tidak ingin dibawah perintahnya. Sebelum wafat Pangeran Kusumadinata menginginkan kabupatian-kabupatian di laut Jawa dan Hindia di bawah kekuasaannya tetapi sebelum keinginannya tercapai keburu wafat, setelah wafat dikenal sebagai Pangeran Karuhun. Pangeran Kusumadinata terkenal sebagai bupati yang memajukan persawahan.

7. DALEM ISTRI RADJANINGRAT.
Menggantikan Pangeran Karuhun adalah puteri sulungnya Dalem Istri Radjaningrat (1744 – 1759) karena para putera Pangeran Karuhun belum ada yang dewasa. Dalem Istri Radjaningrat menikah dengan Dalem Soerianegara putera Bupati Limbangan. Dalem Istri Radjaningrat mempunyai putera sulung Raden Kusumadinata yang biasa disebut Dalem Anom yang kelak menjadi bupati menggantikan kakeknya . Para putera Pangeran Karuhun oleh kompeni dipandang tidak cukup cakap untuk menjadi bupati.

8. ADIPATI KUSUMADINATA / DALEM ANOM Raden Kusumadinata VIII (1759 – 1761) diangkat menjadi bupati tetapi tidak lama hanya dua tahun karena keburu wafat.

9. ADIPATI SURIANAGARA. Adipati Kusumadinata wafat maka digantikan oleh saudaranya Raden Surianagara setelah menjadi bupati bergelar Adipati Surianagara (1761 – 1765). Adipati Surianagara mempunyai seorang putra bernama Raden Kusumadinata / Djamu setelah menjadi bupati dikenal sebagai Pangeran Kornel.

10. ADIPATI SURIALAGA
Setelah Adipati Surianagara wafat tidak digantikan oleh puteranya Raden Djamu karena masih anak-anak maka digantikan oleh saudaranya Raden Surialaga (1765 – 1773) yang bergelar Adipati Kusumadinata. Wafatnya Raden Surialaga meninggalkan 6 orang putera dan puteri,putra sulungnya Raden Ema ketika itu masih berusia 9 tahun. Maka timbullah masalah mengenai penggantian bupati, putera Raden Surianagara yaitu Raden Djamu ketika itu belum dewasa baru berusia 11 tahun. Oleh karena itu kompeni mengangkat Raden Adipati Tanubaya Bupati Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang.
Sejak itu Sumedang memasuki masa bupati penyelang selama tiga periode, sampai akhirnya kelak Raden Djamu menjadi bupati.

12. ADIPATI TANUBAYA (Bupati Penyelang
Pengangkatan Adipati Tanubaya (1773 – 1775) dari Parakanmuncang menjadi bupati Sumedang karena memungkinkan, memang keadaan tidak mungkin mengangkat bupati dari keturunan Sumedang dikarenakan pengganti dari Sumedang belum menginjak dewasa.


13. TUMENGGUNG PATRAKUSUMA (Bupati Penyelang)
Pengganti Adipati Tanubaya adalah menantunya Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Parakanmuncang, pengangkatan Tumenggung mendapat dukungan dari 4 umbul terutama di Sumedang dan setelah mendapat dukungan Patrakusuma berhenti menjadi Bupati Parakanmuncang. Mengenai cerita Raden Djamu menikah dengan putri Tumenggung Patrakusuma di cerita di bab Pangeran Kornel selanjutnya.

Pada masa pemerintahannya Tumenggung Patrakusuma melakukan pelanggaran maka ia diberhentikan oleh kompeni dari kedudukan Bupati Sumedang kemudian diasingkan ke Batavia.

14. ARIA SATJAPATI Sebagai pengganti Patrakusuma maka diangkat Raden Satjapati (1789 – 1791) yang waktu itu menjabat sebagai patih Sumedang, setelah diangkat menjadi bupati memakai gelar Adipati. Posisi Satjapati menjadi bupati tidak berlangsung lama karena oleh kompeni dianggap kurang cakap maka diturunkan pangkatnya menjadi patih kembali.

Untuk mengisi kekosongan bupati, Satjapati mengirim surat ke Bupati Cianjur Wiratanudatar IV memohon agar Raden Surianagara / Djamu waktu itu menjabat sebagai Wadana Cikalong diusulkan untuk menjadi Bupati Sumedang, yang akhirnya usul tersebut di terima oleh kompeni dan Raden Surianagara / Raden Djamu diangkat menjadi Bupati Sumedang,,

15. PANGERAN KORNEL /ADIPATI SURIANAGARA III

Setelah wafatnya Bupati Sumedang Adipati Surianagara II (1765 – 1773), posisi bupati Sumedang diisi oleh bupati penyelang dari Parakanmuncang Adipati Tanubaya (1773 – 1775) yang diangkat oleh kompeni karena putra Adipati Surianagara II, Raden Jamu masih kecil. Setelah wafatnya Adipati Tanubaya digantikan oleh Tumenggung Patrakusuma putranya Setelah menjadi bupati Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) memakai gelar Adipati Tanubaya II. Setelah menginjak dewasa Raden Djamu dinikahkan dengan putri Adipati Tanubaya II Nyi Raden Radja Mira mempunyai seorang puteri bernama Nyi Raden Kasomi. Adipati Tanubaya II mendapat hasutan dari Demang Dongkol yang berambisi untuk mempunyai anak atau cucu menjadi bupati. Akhirnya Raden Djamu mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera Raden Djamu meloloskan diri ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan saudaranya, di limbangan posisi Raden Djamu tidak aman terus melanjutkan perjalanan ke Cianjur untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur Adipati Aria Wiratanudatar IV dan Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak (Wedana) Cikalong dengan nama Raden Surianagara III. Setelah Adipati Tanubaya II diasingkan ke Batavia oleh kompeni ditunjuk sebagai pengganti sementara kepala pemerintahan Sumedang dipegang oleh Patih Sumedang Aria Satjapati (1789 – 1791). Aria Satjapati mengirim surat kepada Adipati Aria Wiratanudatar IV memohon agar mengusulkan Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati Sumedang kepada kompeni. Usul dari Wiratanudatar IV diterima oleh kompeni dan diangkatlah Raden Djamu / Surianagara III menjadi bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumadinata IX (1791 – 1828).

Pada tahun 1811 masa pemerintahan Gubernur Jenderal William Daendels, merintahkan semua bupati di tanah Jawa untuk membantu pembangunan jalan pos antara Anyer dan Banyuwangi. Di Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras. Pangeran Kusumadinata menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai bupati, setelah mengumpulkan rakyatnya Pangeran Kusumadinata menganjurkan dan mengajak rakyatnya untuk membantu pelaksanaan pembuatan jalan pos tersebut, rakyat Sumedang menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas itu.. Pada tanggal 26 November 1811 mulailah pembobokan gunung cadas, rakyat Sumedang pun menjadi korban “kerja paksa” Belanda, banyak rakyat menjadi korban akibat sulitnya medan jalan yang dibuat, rakyat dipaksa untuk menembus bukit cadas dengan peralatan seadanya. Pembangunan jalan pun tidak selesai pada waktunya. Daendels meminta bupati agar rakyat dikerahkan habis-habisan untuk menyelesaikan, Pangeran Kusumadinata menolak karena tidak tega melihat rakyatnya menderita.

Ketika Daendels memeriksa pembuatan jalan tersebut, Pangeran Kusumadinata menunggunya. Sewaktu Daendels menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak bersalam, Pangeran Kusumadinta menyambutnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang keris Nagasastra siap menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah karena sikap bupati dianggap kurang ajar. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan dari Pangeran Kusumadinata bahwa ia berani membantah perintahnya (simbolis ditunjukan dengan menyalami memakai tangan kiri) demi membela rakyatnya yang menjadi korban kerja paksa Daendels dan Daendels pun salut atas keberanian Pangeran Kusumadinata. Akhirnya Daendels merintahkan pasukan zeni Belanda untuk membantu menyelesaikan pembuatan jalan dengan mengunakan dinamit membobok gunung cadas, akhirnya 12 Maret 1812 pembangunan jalan pos di Sumedang selesai, sehingga daerah itu disebut “Cadas Pangeran”.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capllen (1826 – 1830) Pangeran Kusumadinata mendapat pangkat militer sebagai Kolonel dari pemerintah Belanda atas jasanya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon dan menumpas para perampok dan pemberontak terutama yang mencoba masuk ke Sumedang dari Cirebon., sebutan kolonel dalam lidah rakyat berubah menjadi “Kornel” sehingga terkenal sebagai Pangeran Kornel .

Wilayah Sumedang waktu itu hampir sama dengan wilayah pada masa Rangga Gempol III, wilayah Sumedang berbatasan dengan Parakanmuncang, Limbangan, Sukapura, Talaga dan kabupatian – kabupatian Cirebon, kemudian menyusuri kali Cipunagara sampai laut Jawa sepanjang pantai utara sampai Pamanukan.

Selain keberaniannya menentang perintah Daendels dan pemerintah Kerajaan Belanda / Inggris, Pangeran Kusumadinata adalah bupati yang jujur, berani, cerdas, paling pandai dan paling aktif dari semua para bupati di Priangan. Keadilan, kejujuran, kecerdasan, keberanian, kebijaksanaan dan kegagahan Pangeran Kornel dalam melaksanakan kewajibannya penuh rasa tanggung jawab dan mengabdi kepada rakyat sepenuh jiwa raganya. Ia pun tempat meminta nasehat bupati lainnya. Pangeran Kusumadinata sewaktu mulai menjabat bupati membuka lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi yang subur dan berhasil, sehingga keadaan Sumedang lebih baik dibandingkan masa bupati-bupati sebelumnya (penyelang). Residen Priangan Van Motman menyatakan Pangeran Kusumadinata adalah bupati pangkatnya paling tinggi antara para bupati di Priangan. Atas jasa dan kesetiaannya pemerintahan Belanda memberi bintang jasa dari mas.

16. ADIPATI KUSUMAYUDA Pangeran Kornel digantikan oleh puteranya Adipati Kusumayuda (1828 – 1833). Adipati Kusumayuda menuruni watak ayahnya Pangeran Kornel, bupati sering turut bertempur berserta saudaranya Adipati Adiwijaya melawan para pengacau atau perampok di Sumedang . Perawakan Adipati Kusumayuda yang tinggi besar oleh karena itu disebut pula sebagai Dalem Ageung.


17. ADIPATI KUSUMADINATA / DALEM ALIT Wafatnya Adipati Kusumayuda tidak digantikan oleh puteranya Raden Somanagara karena menunggu dewasa. Maka putera Adipati Adiwijaya, Adipati Kusumadinata X (1833 - 1834) menggantikannya tetapi tidak berlangsung lama karena keburu wafat.

18. TUMENGGUNG SURIALAGA. Sebagai penggantinya sementara diangkat Tumenggung Surialaga (1834 – 1836) ketika itu menjadi Patih Polisi tetapi tidak berlangsung lama juga baru satu tahun menjabat bupati meminta pensiun.

19. PANGERAN ARIA SURIA KUSUMAH ADINATA
Pada tangggaraal 20 Januari 1836 Raden Somanagara dilantik menjadi Bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Suria Kusumah Adinata (1836 – 1882).
Kecerdasan, kepemimpinan dan kesetiaannya pengabdian kepada rakyat terlihat dengan jelas. Kebutuhan masyarakat diutamakan seperti pembuat jalan, pengairan, pertanian dan sebagainya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Segala bentuk kewajiban rakyat yang memberatkan di bidang pertanian dihapuskan pada 1885 oleh pemerintah seperti peraturan penanaman nila.

Pada tanggal 14 Agustus 1841 Surat Keputusan pemerintah Kerajaan Belanda no. 24 Tumenggung Suria Kusumah Adinata mendapat gelar Adipati dan berdasarkan Surat Keputusan tanggal 31 Oktober 1850 mendapat gelar Pangeran.

Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata wafat pada tanggal 22 September 1882 dimakamkan di Gunung Puyuh, Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata dikenal juga sebagai Pangeran Sugih karena sugih harta, kekayaan dan putera.

20. PANGERAN ARIA SURIA ATMADJA
Setelah Pangeran Suria Kusumah Adinata wafat digantikan oleh putranya Raden Sadeli dilahirkan di Sumedang tanggal 11 Januari 1851 . Sebelum menjadi bupati Sumedang Raden Sadeli menjadi Patih Afdeling Sukapura – kolot di Mangunreja. Pada tanggal 31 Januari 1883 diangkat menjadi bupati memakai gelar Pangeran Aria Suria Atmadja (1883 – 1919). Pangeran Aria Suria Atmadja merupakan pemimpin yang adil, bijaksana, saleh dan taqwa kepada Allah. Raut mukanya tenang dan agung, memiliki displin pribadi yang tinggi dan ketat.
Wibawa Pangeran Aria Suria Atmadja sangat besar yang memancar dari 4 macam sumber :
a. Kedudukannya sebagai bupati.
b. Patuh dan taqwa dalam agama.
c. Kepemimpinannya yang tinggi.
d. Displin yang tinggi.

Pangeran Aria Suria Atmadja memiliki jasa dalam pembangunan Sumedang di beberapa bidang, antara lain :

1. BIDANG PERTANIAN
Membangun aliran irigasi di sawah-sawah, penanaman sayuran, melakukan penghijauan di tanah gundul dan membangun lumbung desa. Pangeran Aria Suria Atmadja memberi ide bagaimana meningkatkan daya guna dan hasil guna pengolahan tanah, pembuatan sistem tangga (Terasering) pada bukit-bukit.

2. BIDANG PERTERNAKAN
Untuk meningkatkan hasil ternak yang baik di Sumedang, di datangkan sapi dari Madura dan Benggala dan kuda dari Sumba atau Sumbawa untuk memperoleh bibit unggul.

3. BIDANG PERIKANAN
Pelestarian ikan di sungai diperhatikan dengan khusus, jenis jala ikan ditentukan ukurannya dan waktu penangkapannya agar ikan di sungai selalu ada. Penangkapan ikan dengan racun atau peledak di larang.

4. BIDANG KEHUTANAN.
Daerah-daerah gunung yang gundul ditanami pohon-pohon agar tidak longsor., selain dibuat hutan larangan / tertutup yaitu hutan yang tidak boleh diganggu oleh masyarakat demi kelestarian tanaman dan binatangnya. Binatang dan pohon langka mendapat pelindungan khusus.

5. BIDANG KESEHATAN.
Penjagaan dan pemberantasan penyakit menular mendapat perhatian besar. Bayi dan anak-anak diwajibkan mendapatkan suntikan anti cacar diadakan sampai ke desa-desa. Masyarakat dianjurkan menanam tanaman obat-obatan di perkarangan rumahnya.

6. BIDANG PENDIDIKAN
Pada tahun 1914 mendirikan Sekolah Pertanian di Tanjungsari dan wajib belajar diterapkan pertama kalinya di Sumedang. Pada tahun 1915 di Kota Sumedang telah ada Hollandsch Inlandsche School , mendirikan sekolah rakyat di berbagai tempat Sumedang dan membangun kantor telepon.

7. BIDANG PEREKONOMIAN
Pada tahun 1901 membangun “Bank Prijaji” dan pada tahun 1910 menjadi “Soemedangsche Afdeeling Bank”. Pada tahun 1915 mendirikan Bank Desa untuk menolong rakyat desa.

8. BIDANG POLITIK
Pada tahun 1916 mengusulkan kepada pemerintah kolonial agar rakyat diberi pelajaran bela negara / mempergunakan senjata agar dapat membantu pertahanan nasional. Ide ini dituangkan dalam buku ‘Indie Weerbaar” / Ketahanan Indonesia, tapi usul ini ditolak pemerintah Belanda. Pangeran Aria Suria Atmadja tidak mengurangi cita-citanya, disusunlah sebuah buku yang berjudul ‘ Ditiung Memeh Hujan” dalam buku itu dikemukakan lebih jauh lagi agar Belanda kelak perlu mempertimbangkan dan mengusahakan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia. Pemerintah kerajaan Belanda memberi reaksi hingga dibuat benteng di kota Sumedang, benteng gunung kunci dan Palasari.

9. BIDANG KEAGAMAAN
Bidang keagamaan mendapat perhatian yang besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Mesjid dan pesantren mendapat bantuan penuh, peningkatan pendidikan agama mulai dini

10. BIDANG KEBUDAYAAN
Bidang kebudayaan dapat perhatian besar dari Pangeran Aria Suria Atmadja khususnya Tari Tayub dan Degung. Selain ahli dalam sastra sunda, Pangeran Aria Suria Atmadja pun membuat buku dan menciptakan lagu salah satunya Lagu Sonteng.

11. BIDANG LAINNYA
Membangun rumah untuk para kepala Onderdistrik, dibangunnya balai pengobatan gratis, dan menjaga keamanan diadakan siskamling.

Masih banyak jasa lainnya dan atas segala jasanya dalam membangun Sumedang, baik itu pembangunan sarana fisik tetapi juga pembangunan manusianya. Pangeran Aria Suria Atmadja mendapat berbagai penghargaan atau tanda jasa dari pemerintah kolonial Belanda salah satunya tanda jasa Groot Gouden Ster (1891) dan dianugerahi beberapa bintang jasa tahun 1901, 1903, 1918, Payung Song-song Kuning tahun 1905, Gelar Adipati 1898, Gelar Aria 1906 dan Gelar Pangeran 1910.

Pada masa pemerintahan Pangeran Aria Suria Atmadja mendapatkan warisan pusaka-pusaka peninggalan leluhur dari ayahnya Pangeran Aria Suria Kusumah Adinata , Pangeran Aria Suria Atmadja mempunyai maksud untuk mengamankan, melestarikan dan menjaga keutuhan pusaka. Selain itu agar pusaka merupakan alat pengikat kekeluargaan, kesatuan dan persatuan wargi Sumedang, maka diambil langkah sesuai agama Islam Pangeran Aria Suria Atmadja mewakafkan pusaka ia namakan sebagai “barang-barang banda”, “kaoela pitoein”, “poesaka ti sepuh”, dan “asal pusaka ti sepuh-sepuh” kepada Tumenggung Kusumadilaga pada tanggal 22 September 1912, barang yang diwakafkannya itu tidak boleh diwariskan, tidak boleh digugat oleh siapa pun juga, tidak boleh dijual, tidak boleh dirobah-robah, tidak boleh ditukar dan diganti. Dengan demikian keutuhan, kebulatan dan kelengkapan barang pusaka terjamin. Wakaf mulai berlaku jika Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang atau wafat.
Pada tahun 1919 Pangeran Aria Suria Atmadja berhenti sebagai bupati Sumedang dengan mendapat pensiun. Pada tanggal 30 Mei 1919 dilakukan penyerahan barang “Asal pusaka ti sepuh-sepuh” dan “Tina usaha kaula pribadi” kepada Tumenggung Kusumadilaga yang menjadi bupati Sumedang menggantikan Pangeran Aria Suria Atmadja .Tumenggung Kusumadilaga baru menerima barang-barang yang diwakafkan kepadanya dengan ikhlas dan bersedia mengurusnya dengan baik seperti dalam suratnya tertanggal 18 Juni 1919.
Pangeran Aria Suria Atmadja wafat pada tanggal 1 Juni 1921 dimakamkan di Ma’la Mekah ketika menunaikan ibadah haji sehingga di kenal sebagai Pangeran Mekah. Untuk menghormati jasa-jasanya pada tanggal 25 April 1922 didirikan sebuah monumen berbentuk Lingga di tengah alun-alun kota Sumedang, yang diresmikan Gubernur Jenderal D. Fock serta dihadiri para bupati, residen se-priangan serta pejabat-pejabat Belanda dan pribumi.

21. TUMENGGUNG ADIPATI KUSUMADILAGA Pangeran Aria Suria Atmadja digantikan oleh Tumenggung Aria Kusumadilaga (1919 – 1937) dikenal juga sebagai Dalem Bintang merupakan saudaranya.. Pada masa pemerintahannya mengalami perkembangan Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda), partai politik dan pemberontakan komunis di Jawa Barat.

22. TUMENGGUNG ARIA SURIA KUSUMAH ADINATA Tumenggung Adipati Kusumadilaga digantikan oleh Raden Suria Sumantri atau Dalem Aria, setelah menjadi bupati memakai gelar Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata (1937 – 1946) Dalem Aria merupakan bupati tiga jaman, pertama jaman Hindia Belanda, kedua Jepang dan Republik Indonesia.

24. RADEN HASAN SURIA SACAKUSUMAH. Raden Hasan Suria Sacakusumah / “Bung Hasan” (1946 – 1947) diangkat sebagai bupati perjuang oleh Republik indonesia. Masa pemerintahannya ditandai perkembangan gerakan Darul Islam (DI) dan Infansi militer Belanda ke dua ke Indonesia, bupati dan rakyat Sumedang berangkat mengungsi ke pedalaman. Sehingga gedung kabupatian dan Srimanganti ditempati tentara Belanda. Pada masa jabatannya terdapat tiga macam pemerintahan di Sumedang,pemerintahan Belanda, pemerintahan Negara Pasundan dan Republik Indonesia . Berhubung Bung Hasan belum kembali dari pengungsian maka pemerintahan Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Muhamad Singer sebagai Bupati Sumedang. Pada masa Muhamad Singer, Raden Hasan Suria Sacakusumah diangkat kembali menjadi bupati pada tahun 1949 menggantikan Muhamad Singer berangkat ke Belanda, masa jabatannya hanya satu tahun kemudian diserahkan kepada Raden Abdulrachman Suriasaputra.

25. TUMENGGUNG MUHAMAD SINGER Tumenggung Muhamad Singer (1947 – 1949) merupakan keponakan dari Pangeran Aria Suria Atmadja. Sebelum diangkat menjadi Bupati Sumedang tahun 1938 adalah seorang Pamong Praja yang bertugas di Irian Barat, Australia, Sulawesi dan Kalimantan Timur di keresidenna. Pada tanggal 5 Desember 1947 diangkat menjadi Bupati Sumedang. Masa jabatannya Tumenggung Muhamad Singer banyak menghadapi banyak masalah salah satunya pemberontak Darul Islam (DI) dan pertempuran antara RI dan Belanda. Sampai akhirnya terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan akhir masa jabatannya diberi tugas belajar ke negeri Belanda untuk mengikuti usaha pembangunan di berbagai negara yang dilanda perang dunia ke-2, sekembalinya dari Belanda ditempatkan di bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Pada tahun 1950 merupakan akhir rangkaian para bupati Sumedang keturunan leluhur Sumedang dari masa Prabu Tajimalela 721 sampai Tumenggung Muhamad Singer 1950.

di angkat dari: http://www. kaskus.us /showthread.php?s=3015434ef045f19e5cfd0b24b9d01374&t=7929559&page=1&2



Selasa, 03 Januari 2012

Catatan Akhir Bab I


[1] Purwaka Caruban Nagari, pupuh 193.
[1] Daftar nama kecamatan di Kota sesuai dengan peraturan pemerintah No. 35 tahun1986 tanggal 21 Agustus 1986. Selayang Pandang Kotamadya Cirebon 1994, hlm. 7
[1] H. Rokhmin Dahuri, Dkk., Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon ( Jakarta: Percetakan Negara RI, 2004), hlm. 23.
[1] Ibid., hlm. 14. Bahkan, pada masa pemerintahan Belanda, kawasan Cirebon pernah menjadi pusat penanaman tebu terbesar keempat di Jawa, lihat William J. O’ Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anna Booth, Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 242.
[1] Eddy Sunarto, dkk., Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya (Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat, 2007), hlm. 264.
[1] Ibid., hlm. 271.
[1] Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 74.
[1] Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
[1] Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata “glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
[1] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah (Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986), hlm. 32. lihat juga Nina H. Lubis, dkk., Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat (Bandung: Alqaprint, 2000), hlm. 29. 
[1] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 30.
[1] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 36.
[1] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 32.
[1] Kompleks kedaton itu dewasa ini tinggal puing-puingnya saja, yang terletak di sebelah timur Keraton Kasepuhan sekarang. Kedaton Pakungwati itu dikelilingi oleh kuta, terletak di sebelah utara kali (sungai) Krian, dahulu namanya sungai Suba. Kuta itu dinamai Sang Asu, sedangkan dalem agung disebut Siru’llah. Lihat naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
[1] Masjid Agung Sang Ciptarasa ini memiliki nuansa rasa cipta yang mengental. Nuansa yang berasal dari kedalaman rasa yang hakiki, seperti mengentalnya rasa kawula dengan Gusti (manunggaling kawula Gusti). Menyatunya rasa kawula-Gusti, berarti bahwa Sang Pencipta sajalah yang memiliki segala rasa, sementara sang mahluk hanyalah memiliki keikhlasan dan keridhoan dalam segala ketawakalannya. Oleh karena itu, Masjid Agung Sang Ciptarasa menjadi perhatian muslim dunia, yang sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya. Lihat T.D. Sudjana, Masjid Agung Sang Ciptarasa dan Muatan Mistiknya (Bandung: Humaniora Utama Press, 2003), hlm. 2 
[1] Seperti atap pada Masjid Demak, Masjid Cirebon pun atap tengahnya ditopang oleh empat tiang kayu raksasa. Hanya tiga buah yang utuh, salah satu di antara tiang itu disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
[1] Nina H. Lubis, dkk., hlm. 37.
[1] Ibid., hlm. 40.
[1] Putri Pangeran Gunung Panti Cucu Panembahan Losari.
[1] P. Hempi Raja Kaprabonan, Sejarah Keraton Kaprabonan, hlm. 3-6.
[1] Ibid., hlm. 12.
[1] Rosad Amidjaja, dkk., Pola Kehidupan Santri Pesantren Buntet Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (JAVANOLOGI), 1985), hlm. 26.
[1] Ibid,.
[1] Ahmad Zaeni Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan, Kyai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara (Jakarta: Elsas, 2000), hlm. 28. lihat juga pada Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan).
[1] Selayang Pandang Keraton Kacirebonan Cirebon (Dokumentasi Keraton Kacirebonan). 
[1] Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logos, 2002), hlm. 265.
[1] Alih bahasa oleh Aman  N. Wahyu, 2007.
[1] Generasi ke-10 yaitu Ki Thalhah, seorang mursyid terkemuka aliran Qadariyah wan Naqsabandiyah di Jawa Barat dan  murid Syekh Khatib Sambas, seorang Jawa yang tinggal di Mekah, dan pendiri aliran ini. Mursyid adalah seorang pemimpin yang mempunyai kekuasaan untuk menandakan bagi penganut baru tarekat (ajaran Sufi). Khatib Sambas adalah seorang sarjana Indonesia abad 19 yang terkenal di Mekah, yang lahir di Kalimantan. Ia diakui sebagai orang yang menggabungkan ajaran-ajaran Qadariyah dan Naqsabandiyah menjadi satu ajaran yaitu Qadariyah wan Naqsabandiyah. Aliran ini mungkin telah memiliki benteng yang kuat di Trusmi dan Astana. Lihat,  Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, hlm. 268-269. 
[1] Ibid., hlm. 269-272.
[1] Pangeran Insan Kamil bertempat tinggal di jalan Pegajahan menikah dengan Ratu Mayawati. Pangeran Insan Kamil adalah seorang kaum ningrat Cirebon keturunan dari Keraton Kaprabonan. Beliau mempunyai murid tarekat yang berasal dari Desa Trusmi dan sekitarnya antara lain: Madmil, Kibol dan Kadmini. Para murid dan rekan-rekan lainnya membentuk suatu kegiatan bisnis bersama yaitu membuet batik. Motif-motif yang dibuat adalah motif batik keratonan sesuai dengan pesanan dari Pangeran Insan Kamil maupun istrinya, Ratu Mayawati. Selain motif keratonan mereka pun berkreasi menciptakan motif sendiri, karena mayoritas pembuat batik adalah para pengikut tarekat yang kebanyakan laki-laki, maka motif batik yang dibuat lebih bersifat maskulin/ kelaki-lakian (bersifat pria), dimana jarang terdapat unsur batik yang bermotif atau bergambar bunga. Dari nama murid atau tokoh pembuat batik di atas, Mang Kibol adalah paman dari Sanira  (wawancara dengan Yuniko).
[1] Wawancara dengan Elang Sugiarto dan diperkuat kakaknya, Elang Muhammad Hilman, S. Arsiparis, pada tanggal 15 Agustus 2008.
[1] Wawancara dengan H. Supriatna.
[1] Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon” (t.t.p: LIPI, tt), hlm. 129.
[1] Ibid., hlm.139.
[1] Ibid., hlm. 134.
[1] Casta dan Taruna, Batik Cirebon: Sebuah Pengantar Apresiasi, Motif, dan Makna Simboliknya (Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008), hlm. 56.
[1] Paramita Abdurrachman, “Tradisi Batik Cirebon”, hlm. 141.

Proses Pembuatan Batik


Batik Cirebon merupakan produk turun-temurun keluarga keraton. Proses pembuatannya menggunakan bahan, alat, dan teknik tradisional. Waktu itu, batik berfungsi sebagai barang seni, yang kemudian bergeser menjadi barang sandang.
Gambar 26. Salah satu contoh proses pembuatan Batik Keraton Cirebon

            Dalam proses pembuatan batik dibutuhkan bahan-bahan sebagai berikut :
a. bahan pokok :
1. Kain mori atau kain putih prima/ primisima
2. Lilin batik
Lilin batik dapat diperoleh dari gondorukem, bubur ketan, aci (tepung tapioka yang diberi air) dan lain-lain dan disebut malam. Malam ini dipanaskan terlebih dahulu hingga mencair. 
3. Cap Warna
b. Bahan pembantu atau bahan tambahan :
1. Gondoruken (gandar)
2. Minyak kacang
3. Soda abu
4. Kaustik soda
5. Minyak tanah
6. Tepung tapioka
7. Tapol/ tripol
8. Kayu bakar
        Dalam proses pembuatan batik, digunakan peralatan yang sebagian besar dapat dibuat sendiri. Peralatan yang digunakan untuk membuat batik di antaranya :
1.          Kenceng (wadah yang terbuat dari tembaga), fungsinya untuk mencuci kain mori dan tempat melilin kain.
2.          Alat pemukul yang terdiri dari kayu kemplongan dan pemukulnya, tempat merapatkan dan meratakan kain mori yang telah dicuci.
3.          Papan, landasan dalam pengemplangan.
4.          Gawangan (terbuat dari bambu atau kayu jati), tempat meletakkan kain yang akan dibatik.
5.          Canting (terbuat dari tembaga atau kayu). Canting mempunyai berbagai bentuk dan fungsi, di antaranya :
·    Canting bermata kecil untuk isén -isén
·    Canting bermata sedang untuk me-réngréng   
·    Canting bermata besar untuk némbok
·    Canting bermata dua untuk membuat garis dobel.
6.          Bak (dari batu atau semen) untuk tempat merendam batik.
7.          Bak (dari kayu) untuk tempat pewarnaan positif dan negatif.
8.          Plorodan atau tong (wadah yang terbuat dari logam), tempat merebus batik agar lilin meleleh.
9.          Gawang penjemuran (terbuat dari bambu) untuk tempat menjemur kain yang telah dikétél atau selesai dibatik.
10.      Solder (terbuat dari besi dan kayu) untuk menghapus bagian yang salah.
11.      Wajan (terbuat dari besi cor) tempat mencairkan lilin.
12.      Kompor sebagai alat pemanas.
13.      Dingklik (bangku dari kayu) untuk tempat duduk para perajin.
14.      Kalender, alat untuk menghaluskan kain yang selesai dibatik.
15.      Press berfungsi sebagai alat untuk melipat kain agar rapi.  

Proses pembuatan batik terdiri dari tiga tahapan, yaitu persiapan, pembuatan, dan penyelesaian.
  1. Tahap Persiapan
Kain yang digunakan pada kain Batik Cirebon biasanya kain putih prima atau primisima, mori, dan sutra. Urutannya meliputi:
a.   Memotong kain mori sesuai ukuran. Untuk membuat kain panjang biasanya dipotong dengan ukuran 2,5 meter. Kemudian ujung kain yang telah dipotong dijahit, agar serat-serat kain tidak lepas.
b.  Meréndang kain mori untuk menghilangkan bahan kanji atau tepung tapioka yang telah diproses, dengan cara diberi air, direbus, dan diberi sedikit tripol. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan zat kimia yang menghambat proses pewarnaan (mengétél). Kemudian kain dibilas dan dijemur sampai kering.
c.   Mengétél atau merendam atau meremas-remas kain mori dalam rendaman adonan bahan pembantu, kemudian dijemur. Proses ini dilakukan berulang-ulang, membutuhkan waktu 4-7 hari agar kanji pada serat kain hilang sama sekali.
d.  Mencuci kain yang telah dikétél dengan soda abu agar kain bebas dari bekas adonan kétélan.
e.   Mengkanji kain mori secara tipis-tipis agar lilin tidak melekat pada benang. Tujuannya agar kain mudah dibalik. Kemudian dijemur di bawah sinar matahari.
f.    Mengeplong atau menghaluskan kain yang telah dikanji dengan cara memukul-mukul kain berkali-kali agar pori-pori terbuka, sehingga warna dapat meresap secara maksimal.

  1. Tahap Pembuatan
Tahap proses pembuatan batik Cirebon terlebih dahulu membuat pola pada kertas roti yang disebut dengan plak atau tingkes, kemudian diadaptasi menjadi seni melukis di atas kain yaitu batik. Pada bagian lain kita bisa menyelami teknik membatik, yaitu teknik mencetak atau melukis kain dengan cara menutup sebagian kain dengan malam atau perekat yang dibuat dari beras dan bahan yang sudah sangat tua umurnya, seperti juga patung dari batu atau kayu yang mulanya merupakan bagian dari upacara tradisional.
    1. memindahkan rancangan ragam hias (tingkes) ke atas kain. Me-reng-reng atau membuat pola motif langsung di atas kain menggunakan canting ukuran sedang. Proses menggoreskan malam ke atas kain haruslah sejajar dengan permukaan kain, agar malam tidak tumpah. Kemudian meniup ujung canting agar malam tidak menyumbat ujung canting. Jika ujung canting tersumbat, maka diperlukan lidi kecil untuk mendorong sumbatan.
    2. Meng-isen-isen atau mengisi bagian tengah motif. Misalnya menggambar bulu pada motif burung dengan canting yang berukuran kecil. Mengisen-isen ada tiga macam, yaitu membuat totol, sawud, dan lingkaran.
    3. Menembok atau menutup bagian yang dikosongkan dengan lilin menggunakan canting bermata besar.
    4. Mengentus atau menjemur kain tidak sampai kering setelah ditembok dan direndam dengan air.

  1. Tahap penyelesaian
a.  Mewarnai kain mori yang telah ditus dengan mencelupkan ke dalam bak berwarna negatif untuk warna dasar. Kemudian ditus dan dimasukkan ke dalam bak pewarna positif. Pewarna batik dimulai dengan pewarna yang lebih muda lebih dulu. Kemudian ditutup dengan malam untuk menghambat warna pada kain yang sudah diwarnai sebelumnya dengan menggunakan malam yang mencair saat dipanaskan, sehingga pencelupan dilakukan menggunakan pewarna celup dingin. Proses tersebut diteruskan dengan pewarna yang lebih gelap.
      Pewarna pada batik didapat baik dari pewarna alami maupun pewarna buatan.
      Pewarna alami yang dapat digunakan pada batik berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon nila untuk pewarnaan biru. Pohon tersebut digunakan juga untuk tarum, nila muda, dan biru muslim.
      Warna merah cerah didapat dari pengolahan kayu sepang (Caesalpina sappan) dan mengkudu (Morinda citrifolia) untuk mendapatkan merah tua, ungu, dan coklat. Warna kuning, jingga, hingga coklat didapat dari kunyit atau kunir (Curcuma domestika) dengan nila.
      Bahan kimia untuk pewarna buatan pabrik dibagi menjadi dua yaitu pewarna langsung (direct) maupun pewarna tidak langsung (indirect). Pewarna langsung seperti rapid, prosion, dan rhemasol. Pewarna tidak langsung di antaranya nafthol dan indigosol.

Gambar 27. Sebagian contoh Pewarna Alami Batik Keraton Cirebon. Jambal menghasilkan warna cokelat kayu, Secang menghasilkan warna cokelat kemerahan, Tingi menghasilkan warna cokelat, Tegeran menghasilkan warna cokelat kopi, Bixa menghasilkan warna merah atau cokelat, dan Jalawe menghasilkan warna cokelat.

b.      Menghilangkan lilin atau penyongan atau plorodan. Setelah dicuci dengan air bersih, dilorot atau direbus dengan air mendidih 100°C, kemudian dijemur.
                                               
Proses penjelasan di atas disebut sekali proses. Bila proses tersebut selesai, kain batik akan kembali dilorot, maka disebut dua kali proses. Sekali proses lebih baik dari segi warna, namun kurang baik dari segi seninya.
Secara kualitas, batik tulis lebih baik daripada batik cap dan batik fotokopi, sehingga harganya lebih mahal, karena batik tulis pengerjaannya dilakukan secara tradisional. Selain itu pengerjaan selembar kain batik dapat dikerjakan lebih dari satu orang. Biasanya ada yang khusus membuat pola, me-reng-reng dan mengisen-isen. Jenis isen-isen ada tiga yaitu totol (titik), sawud (garis), dan lingkaran. Teknik cantinglah yang membuat batik Cirebon beridentitas.
Gambar 28. Ciri khas teknik menutup dengan malam sehingga terbentuk garis tipis
 Gambar 29. Garis tipis khas Batik Cirebon hasil menutup dengan malam



Gambar 30. Contoh kebalikan teknik di atas

Ciri khas batik tulis yaitu besarnya motif yang satu dengan yang lain tidak sama. Selain itu pewarnaan antara bagian luar dan dalam batik sama baiknya.
Kekhasan Batik Keraton Cirebon, selain menggunakan motif-motif keratonan, seperti bentuk pakem pandan wangi, wadasan, mega mendung, juga teknik cantingnya yang khas. Pada batik Cirebon tidak diharuskan untuk mengisi seluruh ruang yang ada, seperti batik di daerah Solo dan Yogyakarta. Batik Cirebon proses pembuatannya hampir mirip dengan teknik seni lukis kaca yang berkembang. Untuk motif-motif di atas dipergunakan gradasi warna, biasanya dengan jumlah yang ganjil (dapat mencapai 9-11 gradasi warna).
Warna pada kain batik Cirebon yang khas yaitu kuning gading atau kuning muda yang disebut putih Cirebon atau kuning Cirebon (Yayasan Mitra Budaya Indonesia, 1982).
Gambar   31.  Proses pembuatan batik menurut Yuniko, dengan maskot pinguin tanpa meninggalkan ciri khas Keraton Cirebon dengan adanya unsur mega mendung.